Ini dia yang
sering dicaci tapi sering ditunggu-tunggu. Yang sering ditebak-tebak
kelanjutannya, sepertinya para penontonnya berbakat jadi peramal. Yang episode
terakhirnya seperti diskon di tengah malam pergantian tahun yang menggoda iman.
Sinetron.
Sinetron
bagaikan cermin yang memantulkan kehidupan, meski kadang lebay. Potret kehidupan sosial di Indonesia. Tapi emang membosankan
kalo sinetron hanya berkutat dalam urusan cinta-cintaan. Mending kalo memotret
masalah-masalah kecil di kehidupan kita. Yang sering jadi bahan pembicaraan
ketika kita ngumpul minum kopi atau
berbelanja sayuran.
Beberapa hari
ini ketika saya pulang kampung, saya “terpaksa” menikmati sinetron “Tukang
Bubur Naik Haji”. Bahkan babak pertama MU vs Stoke pun harus saya relakan
karena remote TV telah disandera ibu saya. Tapi akhirnya saya menikmati. Buktinya
tulisan ini lahir dari tuts keyboard laptop usang saya.
Bagi para pemuja
sinetron, pastilah masih segar di ingatan sederet sinetron papan atas
Indonesia. Mulai dari “Tersanjung” yang saya kira akan berlanjut sampai tujuh
turunan, sampai sinetron-sinetron berjudul perhiasan.
Yang menjadi
daya tarik utama selain ceritanya, tentulah paras rupawan para pemerannya.
Orang baik berparas menarik, orang jahat berwajah keji (meskipun cantik/tampan
juga sih).
Wajah-wajah
memikat mereka tentu percuma bila nggak
dilengkapi dengan kemampuan akting yang mumpuni. Sampai-sampai ada ibu-ibu yang
begitu marahnya ketika bertemu mereka di kehidupan nyata. Mereka ini tentunya
yang berperan jahat. Entah ibu-ibunya lebay
atau kemampuan aktingnya yang maha hebat. Atau
justru itu karakter aslinya *eh.
Peran baik
(protagonis) memang selalu berperang melawan peran tidak baik (antagonis).
Patut diingat, di sinetron-sinetron negeri ini, antagonis dan protagonis
dipisahkan oleh skenario yang jelas. Kalau jahat, ya jahat teruus. Kalau baik,
baiknya ya kebangetan. Tapi emang
kadang-kadang yang manusiawi dengan menampilkan orang apa adanya, punya sisi
jahat dan baik.
Daripada mencaci
peran-peran antagonis tersebut, lebih baik kita mengaca. Pertama, apakah kita
setampan atau secantik mereka. Kedua, apa kita pantas juga ikut terjun di dunia
per-aktingan. Ahaaa!!
Sori becanda, yang terpenting adalah
apakah kita memiliki sifat-sifat jahat yang mereka perankan.
Apakah kita
sekikir dia? Apakah kita selicik dia? Apakah kita sering menyebar gosip dan
fitnah seperti dia? Apakah kita sering berbohong untuk menutupi kesalahan atau
rencana keji kita?
Tak banyak mereka
yang berhati peka. Iya dong, mereka
justru seharusnya senang ketika “mereka” masuk tipi, diperankan oleh mereka yang tampan dan cantik. Itu berarti “mereka” punya nama di masyarakat kan, sehingga
dianggap pantas menghias layar kaca. Tapi ketika mereka memaki peran itu,
mendengar orang membenci peran itu, ikut
menggosipkan peran itu pagi-pagi, seharusnya mereka juga sadar.
Bahwa mereka
juga adalah pemeran dalam sinetron kehidupan ini.
Itulah yang
mereka dapatkan di masyarakat.
Makian, kebencian, dan digosipkan.
Selamat tahun
baru. Semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik dan tercerahkan di tahun baru
ini. Pelajaran selalu datang dari mana saja. Dari langit, awan, hujan, bumi,
dedaunan, kupu-kupu, dan bahkan dari sinetron layar kaca. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar