1 Januari 2013

Sinetron Kehidupan

Ini dia yang sering dicaci tapi sering ditunggu-tunggu. Yang sering ditebak-tebak kelanjutannya, sepertinya para penontonnya berbakat jadi peramal. Yang episode terakhirnya seperti diskon di tengah malam pergantian tahun yang menggoda iman.

Sinetron.

Sinetron bagaikan cermin yang memantulkan kehidupan, meski kadang lebay. Potret kehidupan sosial di Indonesia. Tapi emang membosankan kalo sinetron hanya berkutat dalam urusan cinta-cintaan. Mending kalo memotret masalah-masalah kecil di kehidupan kita. Yang sering jadi bahan pembicaraan ketika kita ngumpul minum kopi atau berbelanja sayuran.


Beberapa hari ini ketika saya pulang kampung, saya “terpaksa” menikmati sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”. Bahkan babak pertama MU vs Stoke pun harus saya relakan karena remote TV telah disandera ibu saya. Tapi akhirnya saya menikmati. Buktinya tulisan ini lahir dari tuts keyboard laptop usang saya.

Bagi para pemuja sinetron, pastilah masih segar di ingatan sederet sinetron papan atas Indonesia. Mulai dari “Tersanjung” yang saya kira akan berlanjut sampai tujuh turunan, sampai sinetron-sinetron berjudul perhiasan.

Yang menjadi daya tarik utama selain ceritanya, tentulah paras rupawan para pemerannya. Orang baik berparas menarik, orang jahat berwajah keji (meskipun cantik/tampan juga sih).

Wajah-wajah memikat mereka tentu percuma bila nggak dilengkapi dengan kemampuan akting yang mumpuni. Sampai-sampai ada ibu-ibu yang begitu marahnya ketika bertemu mereka di kehidupan nyata. Mereka ini tentunya yang berperan jahat. Entah ibu-ibunya lebay atau kemampuan aktingnya yang maha hebat. Atau justru itu karakter aslinya *eh.

Peran baik (protagonis) memang selalu berperang melawan peran tidak baik (antagonis). Patut diingat, di sinetron-sinetron negeri ini, antagonis dan protagonis dipisahkan oleh skenario yang jelas. Kalau jahat, ya jahat teruus. Kalau baik, baiknya ya kebangetan. Tapi emang kadang-kadang yang manusiawi dengan menampilkan orang apa adanya, punya sisi jahat dan baik.

Daripada mencaci peran-peran antagonis tersebut, lebih baik kita mengaca. Pertama, apakah kita setampan atau secantik mereka. Kedua, apa kita pantas juga ikut terjun di dunia per-aktingan. Ahaaa!!
Sori becanda, yang terpenting adalah apakah kita memiliki sifat-sifat jahat yang mereka perankan.

Apakah kita sekikir dia? Apakah kita selicik dia? Apakah kita sering menyebar gosip dan fitnah seperti dia? Apakah kita sering berbohong untuk menutupi kesalahan atau rencana keji kita?

Tak banyak mereka yang berhati peka. Iya dong, mereka justru seharusnya senang ketika “mereka” masuk tipi, diperankan oleh mereka yang tampan dan cantik. Itu berarti “mereka” punya nama di masyarakat kan, sehingga dianggap pantas menghias layar kaca. Tapi ketika mereka memaki peran itu, mendengar orang membenci peran itu,  ikut menggosipkan peran itu pagi-pagi, seharusnya mereka juga sadar.

Bahwa mereka juga adalah pemeran dalam sinetron kehidupan ini.

Itulah yang mereka dapatkan di masyarakat.

Makian, kebencian, dan digosipkan.

Selamat tahun baru. Semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik dan tercerahkan di tahun baru ini. Pelajaran selalu datang dari mana saja. Dari langit, awan, hujan, bumi, dedaunan, kupu-kupu, dan bahkan dari sinetron layar kaca. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar