22 Mei 2017

Kos-Kosan : Part 1


Sebagai anak rantau, kos atau kontrakan adalah hal yang sangat penting. Kos atau kontrakan adalah rumah kedua bagi para anak rantau. Faktor kenyamanan dan keamanan umumnya menjadi pertimbangan setelah faktor utama, harga. Kali ini saya ndak akan ngasih tips dan trik buat mencari kos atau kontrakan untuk para fresh graduate putih abu-abu. Mencari kos atau kontrakan merupakan salah satu ujian hidup yang harus kalian hadapi selepas masa alay SMA. Saya mau cerita aja tentang kos-kosan yang telah saya singgahi sampai detik ini. Tercatat dalam 9 tahun kehidupan pasca SMA saya, sudah 5 rumah kos yang sudah saya huni sampai hari ini, walaupun sebenarnya saya adalah tipe lelaki setia bukan petualang kos. Cerita saya akan saya bagi jadi 2 part, biar ndak kepanjangan.  

Kos Pertama : Sendowo
Ilustrasi jalan di Sendowo (http://www.rumah.com)
Rumah kos pertama yang saya “nikmati” adalah sebuah kos kecil di Sendowo, dekat Fakultas Kedokteran UGM dan RS Sardjito. Tepatnya di Jalan Akasia. Tentu dapat sampeyan tebak alasan kuat di balik terpilihnya kos tersebut. Bukan karena saya diterima kuliah di Kedokteran UGM, sudah pastilah otak (dan dompet) ndak kuat, melainkan karena faktor harga yang cukup miring di tahun 2008. Hanya bermodalkan uang Rp150.000/bulan sampeyan akan mendapatkan kamar yang cukup lapang berukuran 3x3 meter, dilengkapi meja kecil (lesehan), lemari kecil, dan tanpa kasur ataupun tempat tidur. Seperti umumnya kos-kosan di Jogja, motor-motor para penghuni diparkir berjajar di sepanjang selasar. Sayangnya memang kos yang sampai sekarang namanya masih menjadi misteri bagi saya itu tidak memiliki gerbang jadi orang bisa bebas keluar masuk. Sisi positifnya adalah kos tersebut berdempetan dengan masjid kecil, sehingga saya jarang telat sahur, apalagi buka puasa.


Kosan Kedua : Kos Ibu Akim Warung Jengkol
belok ke kanan,ke kanan lagi   (www.google.com)
Karena tak dinyana-nyana saya lulus USM STAN, mau tak mau saya hijrah menuju Bintaro, tepatnya Warung Jengkol. Entahlah darimana asal-susulnya nama Warung Jengkol ini bisa disematkan ke suatu jalan yang padat di dekat kampus STAN. Yang pasti setelah saya telusuri ketika kepala ini botak akibat ospek, tidak saya temukan satupun pohon jengkol atau warung yang menjual sayur jengkol di sepanjang jalan tenar tersebut. Kos saya sendiri menyelip di antara gang-gang sempit Warung Jengkol. Ada belokan counter pulsa tempat mamang bubur mangkal, lurus, ada tempat pembuangan sampah. Bukan di tempat pembuangan sampah itu saya ngekos, namun masih belok ke kanan sampai mentok.

Kosan kedua saya ini terdiri dari satu lantai setengah, karena dilihat dari wujudnya bangunan kos ini diniatkan untuk jadi dua lantai. Namun mungkin karena kesulitan modal jadi separuh dulu yang diselesaikan dan disewakan. Saya agak lupa harga per kamarnya dibanderol berapa. Enam juta setahun kalo ndak salah. 

Kamar kos sudah dilengkapi kamar mandi dalam bahkan satu kamar bisa dihuni 2 orang dengan kondisi masih lumayan lapang. Di dinding pagar tanaman merambat membuat suasana menjadi asri. Warung-warung makan banyak berserakan di jalan Warung Jengkol yang hanya sepelemparan batu jauhnya.  Lantai dua bisa digunakan untuk duduk menikmati lembayung senja, bermain gitar, menyeruput kopi dan memandang anak-anak yang bermain bola di lapangan. Tengoklah ke kiri dan kanan, banyak eek kucing bertebaran. Yak, eek kucing.


Kosan Ketiga : Al Kausar 51 Sarmili
pohon rambutan ke kanan    (www.google.com)
Karena satu dan lain hal, akhirnya saya pindah (lagi). Alhasil hanya mungkin sekitar 5 bulan kos ibu Akim saya tempati. Akhirnya saya meninggalkan keramaian Warung Jengkol dan Kalimongso menuju tanah Sarmili yang sepi untuk mencari jati diri. Sarmili merupakan kompleks kos di seputaran kampus STAN yang memiliki ciri khas, becek dan kambing. Kalau hujan jalanan di Sarmili akan berubah tekstur. Dan bukan hal yang asing bila sampeyan pulang kuliah menuju kos berpapasan dengan segerombolan kambing. Tapi itu dulu, tahun 2008. Mungkin sekarang masih sama.


Bicara tentang kos Al Kausar ini, mungkin akan panjang. Karena memang sampai saya lulus kuliah, saya betah ngga pindah-pindah ke lain hati. Di sini pulalah saya bertemu dengan tambatan hati yang notabene tetangga kos. Ciyeee...😍😍😍

penampakan beberapa tahun lalu
Kali ini kos saya berbentuk rumah jadi berasa ngontrak. Ada dapur kecil untuk dipakai bersama. Ada halaman yang cukup luas untuk bermain futsal 3 lawan 3. Belum lagi kos ini berada di pojokan, berbatasan dengan kebon punya warga, dan di belakang kos lain yang menjulang tinggi. Mungkin kalo dicari di google maps ndak akan ketemu. Wong mahasiswa lain aja yang tinggal di Sarmili sering ndak tahu di situ ada kos. Kelebihan lainnya adalah suasananya sering hening-hening seram gitu, cocok buat mahasiswa-mahasiswa yang di malam UTS mau mencari wangsit (baca : inspirasi). Satu lagi, kualitas dan kuantitas airnya tidak perlu diragukan. Airnya bening dan segar serta jarang dilanda kekeringan di musim kemarau. Bahkan debit air sering berlimpah ruah alias kebanjiran ketika musim hujan tiba.


Mungkin sampai di sini dulu cerita saya tentang kos-kos yang pernah singgah di hati saya. Masih ada 2 kos lagi yang akan saya bongkar-bongkar pada postingan selanjutnya. See yaa..😀