18 Desember 2012

Dari Batu ke Batu

Tepat seminggu silam, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Waduk Jatiluhur, Purwakarta. Acara kantor, outbond sih katanya. Lumayanlah buat pemecah rutinitas kantor yang itu-itu aja.

Jatiluhur adalah waduk yang indah, terutama kala matahari terbit dan terbenam. Kebetulan kami tiba di sana sore hari, sebelum magrib, jadi sempet menikmati indahnya sunset di sana. Waduk ini sendiri dikelilingi bukit-bukit yang menjulang dengan pepohonan hijau yang dominan. Di beberapa bukit batu-batu besar sebesar gajah (atau bahkan lebih) nampak menyeruak di tengah hijaunya pepohonan. Sampan-sampan telah merapat di tepian setelah mengarungi waduk seharian. Di kejauhan terlihat rumah-rumah kecil di tengah waduk, tempat pemilik keramba menjaga kerambanya. Langit senja berwarna jingga diselubungi awan-awan dan gelap sebentar lagi turun.


Ternyata kegiatan pertama tidaklah berhubungan dengan air, tetapi bebatuan raksasa tadi. Hari kedua kami berlayar menuju tepian yang agak jauh. Setelah kira-kira 20 menit berperahu, batu-batu besar mulai kelihatan menyambut kedatangan perahu-perahu kami. Kegiatan hari ini adalah panjat tebing. Kayaknya istilah “panjat tebing” nggak tepat juga sih, soalnya kami akan menuruni tebing dan menyeberang tebing. Dan tebing yang dipakai pun sebenarnya batu raksasa segede tebing,hehe.

Fail prepare is prepare to fail.

Persiapan itu penting bro! Apalagi buat kegiatan yang mempertaruhkan nyawa gini. Turun tebing dan menyeberang tebing dari ketinggian 15-20 meter di atas bebatuan yang pastinya ga empuk tentulah beresiko bila nggak ada persiapan yang matang. Oleh karena itu, pelatih-pelatih yang berpengalaman memberikan penjelasan apa prosedur yang harus kami lakukan, dan yang terpenting gimana memasang berbagai alat-alat sebagai pengaman.  Ada 2 jenis pengaman yang akan melekat di tubuh, sit harness dan full body harness. Tiap orang memilih salah satu. Sit harness lebih simpel dari full body harness, tetapi keamanan keduanya nggak usah diragukan asalkan pemakaiannya sesuai dengan prosedur.
dari sini
Setelah penjelasan selesai, kami dipersilahkan memilih sendiri mana alat pengaman yang hendak dipakai. Karena jumlah yang terbatas, terpaksa kami gantian makainya. Lucunya, para lelaki (termasuk saya) dengan sigap segera menyabet full body harness yang tergantung. Sebaliknya para mbak-mbak (terpaksa) memakai sit harness. Emang sih full body harness terlihat lebih aman karena lebih banyak ikatannya daripada sit harness dan pastilah para mas yang lebih berat dari mbak-mbaknya merasa lebih pede kalo memakai full body harness. Tapi pelatih menjelaskan kembali bahwa keduanya sama-sama aman. Bahkan beberapa temen memakai sit harness buatan pelatih saat itu juga. Yang penting safety,safety,safety!!

dari sini


Semuanya udah siap, tinggal beraksi. Kelompok saya kebagian menyeberangi tebing lebih dulu, baru kemudian turun tebing. Kami menyeberangi tebing melalui jembatan tali yang disebut Burma Bridge. Perjalanan menuju tebing batu yang akan dipakai sebagai titik start melalui sebuah jembatan dari batang-batang pohon. Jembatan ini terlihat rapuh, agak goyang kalo kami injak. Tali terentang di atas jembatan, tepat di samping kiri kami, dan kami bisa mengaitkan pengaman kami ke tali tersebut. Temen di depan saya yang berbadan tambun mulai berjalan di depan saya. Saya mengikuti padahal belum mengaitkan pengaman, sambil jalan bisa pikir saya. Hoop, tiba-tiba jembatan bergoyang. Temen di depan saya nyaris jatuh tapi tertahan oleh pengaman. Saya ikut hilang keseimbangan dan miring ke kanan terdorong tali di samping kiri yang tertarik temen saya. Astagfirullah, saya tadi belum memasang pengaman kaya temen saya yang sedang tergantung miring di depan saya. Tangan saya masih sempet meraih tali yang tadi mendorong badan saya. Posisi saya dan temen saya miring ke belakang, mungkin 60 derajat. Batang-batang tajam bekas dipangkas di bawah punggung kami. Pelatih bertindak cepat dengan menarik tali sehingga kami kembali posisi semula. Alhamdulillah, langsung saya kaitkan pengaman ke tali. Pelajaran pertama hari ini.

Burma bridge yang kami seberangi hanya terdiri dari 1 tali untuk pijakan kaki, 2 samping kiri dan kanan untuk pegangan tangan, dan 1 tali yang dikaitkan dengan pengaman, tali yang ini dapat diulur. Satu per satu temen saya menyeberang. Tali bergoyang dengan hebat, si penyeberang harus menyeimbangkan diri kalau ga mau jatuh. Sekilas, saya teringat anak-anak SD yang menyeberang jembatan yang nyaris putus, bergoyang-goyang, di bawahnya arus sungai menderu-deru, dan tanpa pengaman! Anak-anak yang pemberani, menantang maut demi duduk belajar di kelasnya.
dari sini
Tiba saatnya saya menyeberang. Sebelumnya temen saya terlihat kesulitan menyeberang, hanya beringsut senti demi senti karena tali yang bergoyang pantura itu. Dia bisa, saya pun pasti bisa. Tali memang bergoyang hebat dan kita harus berhenti sejenak menjaga keseimbangan. Jarak 20-an meter terasa jauh dan lama ditempuh. Bila menengok ke bawah akan terlihat bebatuan dengan sedikit tumbuhan liar di sana-sini. Titik finish saya sudah dekat. Saya membulatkan tekad bahwa saya pasti bisa mencapainya, sedikit demi sedikit, pelan tapi pasti. Alhamdulillah, saya sampai di seberang. Banyak pelajaran di sini.

Pelajaran pertama, hidup kita tidak akan selalu datar dan tenang, pasti ada gejolak seperti saat kita menaiki tali tadi. Gejolak kecil masih bisa kita lalui. Gejolak yang hebat, hingga tubuh kita bergoyang kencang, mengharuskan kita berdiam sejenak. Sejenak beristirahat, menyeimbangkan diri, menyusun strategi untuk mengarunginya, serta menarik nafas dan membulatkan tekad. Pelajaran kedua, banyak hal terlihat sulit awalnya. Akan tetapi, setelah kita menjalaninya dan terbiasa kita akan bisa. Ketika kaki telah letih dan pegangan tangan mengendur, kuatkan hatimu bahwa kamu bisa mencapai satu titik finish-mu. Ucapkan bacaan basmallah, dan yakinlah Allah bersamamu, kamu pasti bisa mencapai tujuanmu.

Sayangnya, saya nggak bisa menikmati sensasi meluncur menuruni tebing karena setelah saya menyeberang hujan deras pun turun. Batu-batu besar basah kuyup diguyur hujan. Tidak aman memaksakan diri melanjutkan kegiatan tadi karena batu-batu itu menjadi licin. Kami diminta beristirahat makan siang, kemudian kembali ke tenda.

Saya tidak akan melupakan pengalaman pertama saya ini! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar