“Tunggu sampai pasukan musuh mendekat..tunggu
aba-aba !!”
Sekumpulan daun lumbu itu
pun diam tak bergerak. Mengintai musuh, menunggu waktu yang tepat untuk
menyergap.
“Seraaaanggg!!!” Secepat
kilat, sekumpulan daun lumbu itu pun menampakkan aslinya. Kamuflase alami yang
hebat, berhasil menipu pasukan Belanda. Para serdadu Belanda kalang kabut berhamburan
bagaikan anak ayam yang ditikam oleh musang.
Sepotong
skenario peperangan di masa penjajahan tersebut melintas ketika saya menilik
sesosok patung wanita berkuda membawa tombak di sebuah kota kecil barat
Jogjakarta. Tak salah lagi, wanita tersebut adalah otak strategi perang melawan
Belanda yang disegani, dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang. Dialah penasehat
strategi perang Pangeran Diponegoro, pejuang kemerdekaan dari Tegalrejo. Karena
jasanya yang begitu besar, sebuah patung yang menggambarkan Nyi Ageng Serang
didirikan dengan megah di persimpangan lima (proliman) kota Wates.
Tak
banyak orang mengetahui riwayat pahlawan wanita satu ini. Beliau memang tak
setenar Cut Nyak Dhien yang mengangkat senjata di Aceh, RA Kartini dan Dewi
Sartika yang mengangkat martabat perempuan, ataupun Ibu Fatmawati, sang
penjahit Sang Saka Merah Putih yang pertama. Meskipun begitu, peran Nyi Ageng
Serang dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini tidak bisa dipandang sebelah
mata. Apalagi beliau adalah seorang wanita, yang pada masanya kesetaraan dengan
kaum laki-laki masih dianggap aneh. Kecerdasan meracik strategi perang dan keberanian
beliau mengangkat senjata di medan laga benar-benar mendobrak tradisi.
Kehidupan dan Perjuangan Nyi Ageng
Serang
Nyi Ageng Serang dilahirkan pada tahun 1752
dengan nama Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi, putri Pangeran Natapraja
(Panembahan Serang). Pangeran Natapraja sendiri adalah panglima perang andalan
Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) ketika memerangi penjajah
Belanda. Oleh karena itu, semangat patriotisme dan nasionalisme telah mengalir
deras dalam darah RA Kustiah Retno sejak kecil. Begitu pula dengan keberanian
dan kecakapan dalam menyusun strategi perang didapat beliau dari gurunya yang
paling dekat, ayahnya sendiri.
Gelar
“Nyi Ageng Serang” diperoleh beliau karena beliau dilahirkan di daerah Serang,
wilayah kecil antara Sragen-Purwodadi. Meskipun dibesarkan dalam lingkungan
priyayi Jawa, beliau sangat dermawan dan dekat rakyat. Nyi Ageng Serang melihat
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana penjajah Belanda melanggar adat
istiadat Jawa, bahkan menghisap darah rakyat jelata. Didikan dari orang tua
yang anti-penjajahan dan pengalaman menyaksikan penderitaan rakyatnya memupuk
semangat nasionalisme dan patriotisme di dada beliau.
Perjuangannya
bersama ayahanda sempat berhenti sejenak ketika Pangeran Mangkubumi menandatangani
Perjanjian Giyanti (1755), yaitu gencatan senjata yang disertai pembagian
Kerajaan Mataram. Namun basis kekuatan
pasukan Panembahan Serang yang besar dan sikap beliau yang anti-penjajahan
membuat Belanda merasa terancam dan melancarkan serangan mendadak. Gugurlah
putra Pangeran Natapraja dalam pertempuran tersebut dan selanjutnya Pangeran
Natapraja pun mempercayakan tampuk pimpinan di pundak putrinya, Nyi Ageng
Serang. Meskipun di bawah pimpinan seorang wanita, semangat para pasukan
tidaklah kendor sama sekali dan terus bertahan di bawah gempuran pasukan
Belanda. Kalah jumlah dan persenjataan, pasukan Nyi Ageng Serang kalah. Nyi
Ageng Serang tertangkap namun tidak sudi mengaku kalah.
Setelah
dibebaskan oleh Belanda, Nyi Ageng Serang memulai hidup baru dengan menikah
dengan Pangeran Kusumawijaya. Semangat perjuangan tidaklah padam, tetapi tetap
dipelihara, menunggu waktu yang tepat untuk menghanguskan penjajah. Saat itu
tiba ketika Pangeran Diponegoro dengan lantang mendeklarasikan perang melawan
Belanda. Nyi Ageng Serang, Pangeran Kusumawijaya, beserta seluruh pasukan
merapat ke pihak Pangeran Diponegoro, menyatukan kekuatan untuk melawan
penjajah.
Perang
Diponegoro merupakan salah satu perang besar dalam sejarah Indonesia yang
berlangsung bertahun-tahun (1825-1830). Tidak sedikit korban jiwa
yang jatuh, baik dari pihak Belanda maupun pihak Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng
Serang kembali didera rasa kehilangan yang dalam ketika sang suami
terkasih gugur di medan laga. Besan beliau,
Sultan Hamengkubuwono II, dan menantu beliau diasingkan ke Penang. Yang
mendampingi Nyi Ageng Serang hanyalah sang cucu, Raden Mas Papak, beserta
pasukan setianya yang kondang dengan nama Pasukan Papak. Kehilangan tersebut
tidak melemahkan semangat perjuangan beliau. Buktinya, meskipun raga telah
dimakan usia, Nyi Ageng Serang tetap memberikan komando di medan laga dengan
ditandu punggawanya. Pasukan beliau selalui membawa Panji “Gula Kelapa” yang
berwarna merah-putih, layaknya bendera nasional kita. Daerah gerilya beliau meliputi
Pegunungan Menoreh, Kadipaten Adi Karto, dan Kadipaten Kulon Progo
Nyi
Ageng Serang patut dipuji bukan hanya keberaniannya, tetapi juga kecerdasan
otaknya dalam meracik strategi perang. Strategi kamuflase yang sangat ditakuti
Belanda adalah strategi daun Lumbu. Pasukan Papak menggunakan daun lumbu untuk
menutupi tubuh mereka sehingga dari jauh pasukan musuh akan tertipu. Ketika jarak
serang memadai, pasukan Papak menyergap secepat kilat. Pasukan Belanda yang
terkejut porak poranda menerima serangan mendadak ini. Karena keampuhannya,
pasukan Papak menjadi momok dan mendapatkan julukan Pasukan Hantu.
Tekanan
perang di usia senja membuat kesehatan Nyi Ageng Serang menurun. Beliau jatuh
sakit dan akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir sebagai seorang pejuang
wanita yang tangguh pada tahun 1828. Beliau dimakamkan di Dusun Beku, Banjarharjo,
Kalibawang, Kulonprogo. Dusun ini adalah satu tempat bersejarah dimana Nyi
Ageng Serang bertempur melawan penjajah.
Makna Perjuangan Nyi Ageng Serang
Keberanian
dan kecerdasan Nyi Ageng Serang dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini
patut menjadi teladan bagi generasi masa kini. Beliau adalah seorang wanita
yang berani mengangkat senjata, cerdas menyusun strategi, menembus batas-batas
tradisi demi membela tanah airnya. Meskipun begitu, beliau tidak pernah
melupakan kodratnya sebagai perempuan dalam mendidik anak-anaknya, bahkan
semangat perjuangan RM Papak, cucu beliau, tidak lepas dari didikan Nyi Ageng
Serang. Perjuangan beliau menunjukkan bahwa peran perempuan sangatlah penting,
entah itu di garis belakang, maupun di garis depan, ataupun dalam mempersiapkan
generasi muda yang berkualitas.
Semangat
beliau tak pernah padam, masih memimpin pasukan dengan ditandu di usia yang
tidak muda lagi, 73 tahun. Coba kita bayangkan, sungguh hebat bukan di usia
sesenja itu, beliau masih mampu memberikan komando dalam perang yang ganas dan
keras. Sudah menjadi tugas kita, para generasi muda melanjutkan perjuangan
beliau. Selain menjaga kemerdekaan negeri ini, kita pun seharusnya mewujudkan
suatu “kemerdekaan” yang hakiki, sesuatu yang menjadi cita-cita para pahlawan
di masa dahulu. Kemerdekaan ekonomi, kemerdekaan budaya, kemerdekaan sumber
daya alam dan wilayah tanah air kita, adalah masalah-masalah yang seharusnya
menjadi perhatian utama kaum muda. Senjata memang harus disiapkan, namun
kecerdasan harus selalu digunakan.
Tentulah
para pahlawan akan berduka bila melihat di era kemerdekaan ini, masih banyak
rakyat Indonesia hidup terjerat kemiskinan, anak muda yang terjajah oleh budaya
luar negeri sementara budaya luhur negeri ini dicuri bangsa lain, para pemuda
yang seharusnya menggunakan kecerdasannya untuk hal-hal yang lebih berguna
justru adu otot dalam tawuran hingga mereka mati sia-sia, ataupun konflik SARA
hanya karena provokasi yang tidak jelas kebenarannya. Apakah tetesan darah
mereka dahulu percuma?
Nyi
Ageng Serang meninggalkan pesan bagi rakyatnya :
“Untuk keamanan dan kesentosaan jiwa, kita
harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mendekatkan diri
kepada Tuhan tidak akan terperosok hidupnya dan tidak akan takut menghadapi
cobaan hidup karena Tuhan akan selalu menuntun dan melimpahkan anugrah-Nya yang
tak ternilai harganya.”
“Rumongso melu handarbeni (merasa ikut
memiliki)
Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut
mempertahankan)
Mulat sariri hangroso wani (mawas diri
dan berani bertanggung jawab)”
Sumber
:
id.wikipedia.org
www.gudeg.net
www.indonesiaindonesia.com
www.kulonprogo-binangun.blogspot.com
www.pakansi-id.blogspot.com
www.trahpanembahanwongsopati.blogspot.com
www.visitingjogja.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar