28 November 2012

Wanita Peracik Strategi Perang


 “Tunggu sampai pasukan musuh mendekat..tunggu aba-aba !!”
Sekumpulan daun lumbu itu pun diam tak bergerak. Mengintai musuh, menunggu waktu yang tepat untuk menyergap.
“Seraaaanggg!!!” Secepat kilat, sekumpulan daun lumbu itu pun menampakkan aslinya. Kamuflase alami yang hebat, berhasil menipu pasukan Belanda. Para serdadu Belanda kalang kabut berhamburan bagaikan anak ayam yang ditikam oleh musang.

Sepotong skenario peperangan di masa penjajahan tersebut melintas ketika saya menilik sesosok patung wanita berkuda membawa tombak di sebuah kota kecil barat Jogjakarta. Tak salah lagi, wanita tersebut adalah otak strategi perang melawan Belanda yang disegani, dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang. Dialah penasehat strategi perang Pangeran Diponegoro, pejuang kemerdekaan dari Tegalrejo. Karena jasanya yang begitu besar, sebuah patung yang menggambarkan Nyi Ageng Serang didirikan dengan megah di persimpangan lima (proliman) kota Wates.

Tak banyak orang mengetahui riwayat pahlawan wanita satu ini. Beliau memang tak setenar Cut Nyak Dhien yang mengangkat senjata di Aceh, RA Kartini dan Dewi Sartika yang mengangkat martabat perempuan, ataupun Ibu Fatmawati, sang penjahit Sang Saka Merah Putih yang pertama. Meskipun begitu, peran Nyi Ageng Serang dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi beliau adalah seorang wanita, yang pada masanya kesetaraan dengan kaum laki-laki masih dianggap aneh. Kecerdasan meracik strategi perang dan keberanian beliau mengangkat senjata di medan laga benar-benar mendobrak tradisi. 



Kehidupan dan Perjuangan Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang dilahirkan pada tahun 1752 dengan nama Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi, putri Pangeran Natapraja (Panembahan Serang). Pangeran Natapraja sendiri adalah panglima perang andalan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) ketika memerangi penjajah Belanda. Oleh karena itu, semangat patriotisme dan nasionalisme telah mengalir deras dalam darah RA Kustiah Retno sejak kecil. Begitu pula dengan keberanian dan kecakapan dalam menyusun strategi perang didapat beliau dari gurunya yang paling dekat, ayahnya sendiri.

Gelar “Nyi Ageng Serang” diperoleh beliau karena beliau dilahirkan di daerah Serang, wilayah kecil antara Sragen-Purwodadi. Meskipun dibesarkan dalam lingkungan priyayi Jawa, beliau sangat dermawan dan dekat rakyat. Nyi Ageng Serang melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana penjajah Belanda melanggar adat istiadat Jawa, bahkan menghisap darah rakyat jelata. Didikan dari orang tua yang anti-penjajahan dan pengalaman menyaksikan penderitaan rakyatnya memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme di dada beliau.

Perjuangannya bersama ayahanda sempat berhenti sejenak ketika Pangeran Mangkubumi menandatangani Perjanjian Giyanti (1755), yaitu gencatan senjata yang disertai pembagian Kerajaan Mataram. Namun  basis kekuatan pasukan Panembahan Serang yang besar dan sikap beliau yang anti-penjajahan membuat Belanda merasa terancam dan melancarkan serangan mendadak. Gugurlah putra Pangeran Natapraja dalam pertempuran tersebut dan selanjutnya Pangeran Natapraja pun mempercayakan tampuk pimpinan di pundak putrinya, Nyi Ageng Serang. Meskipun di bawah pimpinan seorang wanita, semangat para pasukan tidaklah kendor sama sekali dan terus bertahan di bawah gempuran pasukan Belanda. Kalah jumlah dan persenjataan, pasukan Nyi Ageng Serang kalah. Nyi Ageng Serang tertangkap namun tidak sudi mengaku kalah.

Setelah dibebaskan oleh Belanda, Nyi Ageng Serang memulai hidup baru dengan menikah dengan Pangeran Kusumawijaya. Semangat perjuangan tidaklah padam, tetapi tetap dipelihara, menunggu waktu yang tepat untuk menghanguskan penjajah. Saat itu tiba ketika Pangeran Diponegoro dengan lantang mendeklarasikan perang melawan Belanda. Nyi Ageng Serang, Pangeran Kusumawijaya, beserta seluruh pasukan merapat ke pihak Pangeran Diponegoro, menyatukan kekuatan untuk melawan penjajah. 

Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar dalam sejarah Indonesia yang berlangsung bertahun-tahun  (1825-1830). Tidak sedikit korban jiwa yang jatuh, baik dari pihak Belanda maupun pihak Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang kembali didera rasa kehilangan yang dalam ketika sang suami terkasih  gugur di medan laga. Besan beliau, Sultan Hamengkubuwono II, dan menantu beliau diasingkan ke Penang. Yang mendampingi Nyi Ageng Serang hanyalah sang cucu, Raden Mas Papak, beserta pasukan setianya yang kondang dengan nama Pasukan Papak. Kehilangan tersebut tidak melemahkan semangat perjuangan beliau. Buktinya, meskipun raga telah dimakan usia, Nyi Ageng Serang tetap memberikan komando di medan laga dengan ditandu punggawanya. Pasukan beliau selalui membawa Panji “Gula Kelapa” yang berwarna merah-putih, layaknya bendera nasional kita. Daerah gerilya beliau meliputi Pegunungan Menoreh, Kadipaten Adi Karto, dan Kadipaten Kulon Progo 

Nyi Ageng Serang patut dipuji bukan hanya keberaniannya, tetapi juga kecerdasan otaknya dalam meracik strategi perang. Strategi kamuflase yang sangat ditakuti Belanda adalah strategi daun Lumbu. Pasukan Papak menggunakan daun lumbu untuk menutupi tubuh mereka sehingga dari jauh pasukan musuh akan tertipu. Ketika jarak serang memadai, pasukan Papak menyergap secepat kilat. Pasukan Belanda yang terkejut porak poranda menerima serangan mendadak ini. Karena keampuhannya, pasukan Papak menjadi momok dan mendapatkan julukan Pasukan Hantu.

Tekanan perang di usia senja membuat kesehatan Nyi Ageng Serang menurun. Beliau jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir sebagai seorang pejuang wanita yang tangguh pada tahun 1828. Beliau dimakamkan di Dusun Beku, Banjarharjo, Kalibawang, Kulonprogo. Dusun ini adalah satu tempat bersejarah dimana Nyi Ageng Serang bertempur melawan penjajah.

Makna Perjuangan Nyi Ageng Serang

Keberanian dan kecerdasan Nyi Ageng Serang dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini patut menjadi teladan bagi generasi masa kini. Beliau adalah seorang wanita yang berani mengangkat senjata, cerdas menyusun strategi, menembus batas-batas tradisi demi membela tanah airnya. Meskipun begitu, beliau tidak pernah melupakan kodratnya sebagai perempuan dalam mendidik anak-anaknya, bahkan semangat perjuangan RM Papak, cucu beliau, tidak lepas dari didikan Nyi Ageng Serang. Perjuangan beliau menunjukkan bahwa peran perempuan sangatlah penting, entah itu di garis belakang, maupun di garis depan, ataupun dalam mempersiapkan generasi muda yang berkualitas.

Semangat beliau tak pernah padam, masih memimpin pasukan dengan ditandu di usia yang tidak muda lagi, 73 tahun. Coba kita bayangkan, sungguh hebat bukan di usia sesenja itu, beliau masih mampu memberikan komando dalam perang yang ganas dan keras. Sudah menjadi tugas kita, para generasi muda melanjutkan perjuangan beliau. Selain menjaga kemerdekaan negeri ini, kita pun seharusnya mewujudkan suatu “kemerdekaan” yang hakiki, sesuatu yang menjadi cita-cita para pahlawan di masa dahulu. Kemerdekaan ekonomi, kemerdekaan budaya, kemerdekaan sumber daya alam dan wilayah tanah air kita, adalah masalah-masalah yang seharusnya menjadi perhatian utama kaum muda. Senjata memang harus disiapkan, namun kecerdasan harus selalu digunakan. 

Tentulah para pahlawan akan berduka bila melihat di era kemerdekaan ini, masih banyak rakyat Indonesia hidup terjerat kemiskinan, anak muda yang terjajah oleh budaya luar negeri sementara budaya luhur negeri ini dicuri bangsa lain, para pemuda yang seharusnya menggunakan kecerdasannya untuk hal-hal yang lebih berguna justru adu otot dalam tawuran hingga mereka mati sia-sia, ataupun konflik SARA hanya karena provokasi yang tidak jelas kebenarannya. Apakah tetesan darah mereka dahulu percuma?
Nyi Ageng Serang meninggalkan pesan bagi rakyatnya :

Untuk keamanan dan kesentosaan jiwa, kita harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan tidak akan terperosok hidupnya dan tidak akan takut menghadapi cobaan hidup karena Tuhan akan selalu menuntun dan melimpahkan anugrah-Nya yang tak ternilai harganya.”

“Rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki)
Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan)
Mulat sariri hangroso wani (mawas diri dan berani bertanggung jawab)”

Sumber :
id.wikipedia.org
www.gudeg.net
www.indonesiaindonesia.com
www.kulonprogo-binangun.blogspot.com
www.pakansi-id.blogspot.com
www.trahpanembahanwongsopati.blogspot.com
www.visitingjogja.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar