Aku
tak bisa tidur lagi. Seperti beberapa malam sebelumnya, malam ini mataku hanya
terpejam tapi pikiranku nyalang beterbangan. Aku bisa apa, cuma pikiranku yang
tidak terikat bebas. Aku sempat takut sebentar lagi pikiranku ini akan ikut
terikat di sini, meredup.
Udara
selalu panas di musim kemarau yang panjang ini. Sepertinya langit belum rela
melepaskan hujan, justru matahari yang bersemangat bersinar. Sisa-sisa panas
siang hari terserap di tanah dan keluar merajalela di malam hari. Malam
terbakar. Apalagi di ruangan sesempit ini.
Aku
teringat 13 tahun lalu ketika pertama kali kakiku menginjak tanah ibu kota.
Pagi yang hangat, siang yang panas, dan kampung yang riuh. Aku dan
teman-temanku, segerombol pemuda berkepala botak, berkeliling mencari kos yang
bagus, yang utama murah. Kilat demi kilat ingatan melintas di kepala. Daftar
Ulang, OSPEK penuh bentakan, dan hari-hari kuliah yang membosankan.
Dulu
aku merasa aneh saat seorang dosen berungkali berkata kami anak-anak yang
hebat, lolos dari seleksi alam, bersaing dengan ribuan orang. Hebat bukan?
Mungkin..bahkan sekarang aku ragu, kalau aku demikian hebat, kenapa aku
sekarang di sini, meringkuk kepanasan seperti sampah yang dibuang?
Wisuda
menjadi salah satu momen termanis, setelah perjuangan berdarah-darah selama 3
tahun itu. Aku masih ingat genggaman erat Menteri Keuangan kala itu, seakan
meletakkan harapannya kepada kami untuk mereformasi negeri ini. Aku begitu
bangga saat itu. Tapi saat ini, genggaman itu seolah mencekik leherku hingga
napasku habis.
Bahkan,
aku masih bangga ketika aku mendapat kesempatan mengabdi di seluruh pelosok
negeri. Setelah magang beberapa bulan di ibu kota, akhirnya surat sakti itu
keluar. Ketika kami telah mulai dimanja oleh gemerlap ibu kota, saat kami
terbiasa dengan jalanan yang ramai dengan klakson dan asap. Tapi negeri ini
bukan hanya ibukota, Nak! Ucapan atasanku itu masih aku ingat dalam-dalam.
Masih
kuingat pula, teman-temanku menangis, terutama yang perempuan. Beberapa yang
lelaki tak sampai menangis, tapi berkaca-kaca matanya. Ada yang hanya tersenyum
tipis. Tapi tidak ada yang melonjak kegirangan, entah memang tak ada yang
merasa bahagia atau merasa sungkan melihat teman-temannya yang lainnya. Aku?
Aku lebih banyak berdoa, semoga aku tak lama berada di sana. Bukan aku yang
menangis, ibuku dan dia yang kini menjadi pendampingku yang justru menangis.
Ah, istriku yang cantik dengan senyum termanis di dunia. Dan putriku yang lucu,
buah hatiku yang ceria dan bersemangat. Doaku saat ini, semoga aku tidak berada
di sini lebih lama lagi. Bahkan, terkadang aku berharap esok aku akan terbangun
mendengar keriuhan dapur rumahku.
Entah
kenapa, aku memang tidak lama berada di sana, di ujung timur negeri ini.
Sebagai gantinya, aku dipindahkan di sebuah pulau tak jauh dari kampung
halaman. Tak masalah, yang terpenting aku bisa berjumpa dengan istri anakku
lebih sering, tiap minggu kalau bisa. Sebagai pembalasan dendam selama ini aku
jarang pulang karena ongkos perjalanan yang menguras dompet. Ah, Tuhan memang
selalu adil pada umatnya.
Aku terlelap tanpa sadar.
...**...
Kemejaku putih bersih, celanaku
hitam legam. Istriku kemarin menyodorkan sepasang pakaian ini kepadaku. “Supaya
ga malu-maluin” demikian katanya. Istriku yang cantik, yang selalu tersenyum di
depanku, walaupun aku bisa melihat bawah matanya menghitam. Aku harap dia tidak
menangis setiap malam.
“Zahra apa kabar? Puzzle dinosaurusnya udah selesai?”
Begitu rindunya aku pada putriku dengan matanya yang bulat berkedip lucu.
“Dia baik-baik saja. Aku dan dia
udah nylesein puzzle dinosaurus itu.
Hmm..dia selalu bertanya, kapan Ayah pulang.”
Aku terdiam. Putriku yang manis,
berlari-lari kecil dengan rambut ikalnya yang mengayun lucu. Aku pasti pulang.
“Kamu datang kan besok? Zahra jangan
diajak ya.” Aku tak mau Zahra melihat ayahnya seperti kambing yang mau disembelih
di hari Raya. Menyedihkan.
“Iya Mas.”
Aku menggenggam jemarinya erat
sebelum kami berpisah. Wanita yang mengagumkan. Aku pasti pulang.
..***..
“Apakah Anda mengetahui bahwa tanda
tangan itu palsu? Apakah anda memeriksa berkas SPM itu sesuai prosedur?” Suara
hakim yang mulia terdengar jelas. Semuanya hening, tak ada suara lain. Hanya
jarum jam yang berdetak.
Aku diam.
Hari itu aku berangkat ke kantor penuh
semangat setelah mengecup kening Zahra. Sudah setahun kami berkumpul bersama di
rumah kecil ini. Aku kembali ke ibukota.
Seperti biasa, di akhir tahun pasti
kantor ini dibom oleh SPM yang menggunung. Masalah akut negeri ini. Semua gemar
belanja di akhir tahun, bukan karena butuh melainkan lebih karena takut
dibentak atasan sebab penyerapan dana yang minim. Bukankah begitu, ketika
pemimpin negeri memarahi para pejabat, pejabat akan memarahi bawahan. Amarah
itu menular, atau tepatnya harus ditularkan. Mencari kambing hitam.
Aku masih ingat ketika tiga orang
itu mendekati Front Office membawa
map biru. Aku sudah hafal dengan orang itu, seorang pria berwajah kebapakan
yang senang bercanda denganku ketika bertemu. Seperti biasa, aku memeriksa
dokumennya, lengkap. Mataku sedikit terpicing ketika menyadari uang yang dia
cairkan lebih dari 9 digit. Apalagi ada sedikit perbedaan tanda tangan
atasannya.
“Sebentar Pak. Saya harus ke dalam
dulu.” Senyumku ramah pada bapak itu.
Mungkin sekitar 5 menit aku
berdiskusi dengan atasanku, meminta pertimbangan beliau. Akhirnya, bapak tadi
ditemani salah satu temannya saja aku persilahkan berbicara langsung dengan
atasanku. Aku tidak ikut berbicara, hanya mendengarkan. Atasanku sudah mewakili
setiap pikiran yang berkembang menjadi jaring-jaring prasangka di kepalaku.
Ada telepon untuk atasanku. Sempat
berdialog sebentar, dan atasanku memintaku memproses berkas-berkas itu.
“Terima saja.” Singkat tapi harus
aku laksanakan, meski ada yang mengganjal di hatiku. Aku tak menyangka perintah
itu akan mengantarkan aku duduk di sini, berkemeja putih bercelana hitam legam,
dicecar pertanyaan-pertanyaan yang membuatku muak.
Atmosfer di ruangan persidangan
tiba-tiba bertambah berat ketika hakim mengulangi pertanyaannya. Telingaku
seperti tuli. Hanya tampak mulut-mulut yang bergerak-gerak. Aku memicingkan
mata berusaha menebak apa yang diucapkan hakim, pengacaraku, dan jaksa penuntut
yang berwajah keras itu. Aku tak mengerti. Suara mereka seperti terperangkap.
Bahkan detak jam menghilang.
Aku pingsan.
...**...
Ranjang ini berkeriyut ketika
punggungku rebah di atasnya. Lelah. Walau hanya menjawab pertanyaan, aku merasa
lelah. Tapi setidaknya aku bisa tersenyum ketika teman-temanku, istriku,
keluargaku duduk di belakangku, mendukung.
“Kebenaran Pasti Menang”
Semoga spanduk yang direntangkan
teman-temanku tidak hanya pepesan kosong, bahwa keadilan di negeri ini tidaklah
buta. Semoga mereka tidak buta melihat tulisan merah menyala itu.
Aku masih ingat, aku sering
mendengar berita bahwa reformasi di negeri ini terus berjalan. Termasuk
reformasi keuangannya. Ada suatu sistem baru yang mereka kembangkan. Sistem
yang menjadi tumpuan harapan untuk pengelolaan keuangan yang lebih baik dan
mendatangkan manfaat yang jauh lebih besar dari sistem saat ini. Sistem yang
mencegah teman-temanku menjadi kambing hitam yang dikirim ke bilik berjeruji.
Sistem ini mereka sebut SPAN. Aku masih berharap masih bisa “menikmati” SPAN
ini. Aku ingin terlibat dalam reformasi keuangan negeri ini. Bukan menjadi
penonton, bukan penonton dari bilik berjeruji besi.
Ironi yang menyakitkan. Dahulu
setelah pengumuman, ada sedikit syukur yang menyelip. Bahwa tempat kerjaku
bukan tempat yang “basah”, jauh dari bahaya korupsi. Dan aku benci korupsi,
kejahatan yang merampas hak orang kecil, seperti mencuri dari rakyat yang
kesusahan. Korupsi itu egois, ketika yang lain menengadahkan tangan meminta
recehan, koruptor meraup uang haram tak jelas asalnya.
Ironis sekali saat ini aku dituding
membantu tindakan korupsi.
Ibuku dulu berpesan, jangan lupa
berdoa sebelum bekerja. Itu uang rakyat, amanah ada di pundakmu. Berikan pada
yang berhak, pada mereka yang seharusnya mendapatkan. Untuk ibuku kehidupan
sesederhana agama. Semailah kebaikan, maka engkau menuai kebahagiaan. Ternyat
memang hidup sederhana. Melakukan kebaikan. Dan mungkin pagi itu aku lupa
berdoa kepada-Nya.
Masih ada persidangan lain hari.
Pengacaraku berjanji akan
mendatangkan saksi ahli yang berkompeten. Bukan orang yang sok tahu dan
berbicara ngawur tentang hukum tanpa tahu apa-apa. Sayangnya jaksa memilih
orang seperti itu. Dan entah mengapa hakim mengangguk takzim setelah mereka
berbicara dengan nada yang bahkan menurutku meragukan. Bahkan mereka yang belum
lulus kuliah di almamaterku tahu itu dusta. Jaring-jaring prasangka berkembang
lagi di pikiranku. Seolah-olah dunia berkonspirasi menahanku tinggal di bilik
berjeruji besi ini.
Kebenaran pasti menang. Aku masih
berusaha mempercayainya. Tapi seperti anak yang dibohongi ibunya bahwa di bulan
ada seorang nenek duduk merajut, aku merasa sangsi. Apakah kebenaran memang
ada? Tapi yang pasti kebenaran membutuhkan uang. Tapi aku tak mau menghinakan
diriku lebih dalam lagi dengan membeli kebenaran. Tidak akan.
Mungkin seperti aku yang mengutuk
malam yang panas, orang-orang atas membutuhkan kambing hitam untuk melunasi
dosa mereka. Akulah kambing hitam itu, seorang bawahan yang hanya dikenal
beberapa orang. Tidak dikenal orang-orang atas, tidak dikenal orang-orang
militer berpangkat. Seorang kambing hitam yang sempurna. Tanpa kekuatan besar yang
akan membela.
Aku hanya masih bisa tersenyum
melihat mereka yang masih berdiri menyokong dari belakang. Dan pastinya, bila
kebenaran tidak ada, Allah pasti ada. Tidak buta dan Maha Adil. Itu yang aku
yakini.
Dan malam ini udara panas semakin
menyengat. Mataku terpejam dan pikiranku nyalang. Berharap aku memeluk putriku
dalam tidurnya.
Aku pasti pulang.
Malam ini kembali terbakar.
----SMI, hari keduapuluh purnama keenam, 11 : 37 ---
gubrak..ujarku bener2 wis penempatan.
BalasHapusterus kok ada 'istriku'. kaget..