20 Juni 2012

Pulang

Aku tak bisa tidur lagi. Seperti beberapa malam sebelumnya, malam ini mataku hanya terpejam tapi pikiranku nyalang beterbangan. Aku bisa apa, cuma pikiranku yang tidak terikat bebas. Aku sempat takut sebentar lagi pikiranku ini akan ikut terikat di sini, meredup.

Udara selalu panas di musim kemarau yang panjang ini. Sepertinya langit belum rela melepaskan hujan, justru matahari yang bersemangat bersinar. Sisa-sisa panas siang hari terserap di tanah dan keluar merajalela di malam hari. Malam terbakar. Apalagi di ruangan sesempit ini.

Aku teringat 13 tahun lalu ketika pertama kali kakiku menginjak tanah ibu kota. Pagi yang hangat, siang yang panas, dan kampung yang riuh. Aku dan teman-temanku, segerombol pemuda berkepala botak, berkeliling mencari kos yang bagus, yang utama murah. Kilat demi kilat ingatan melintas di kepala. Daftar Ulang, OSPEK penuh bentakan, dan hari-hari kuliah yang membosankan.

Dulu aku merasa aneh saat seorang dosen berungkali berkata kami anak-anak yang hebat, lolos dari seleksi alam, bersaing dengan ribuan orang. Hebat bukan? Mungkin..bahkan sekarang aku ragu, kalau aku demikian hebat, kenapa aku sekarang di sini, meringkuk kepanasan seperti sampah yang dibuang?

Wisuda menjadi salah satu momen termanis, setelah perjuangan berdarah-darah selama 3 tahun itu. Aku masih ingat genggaman erat Menteri Keuangan kala itu, seakan meletakkan harapannya kepada kami untuk mereformasi negeri ini. Aku begitu bangga saat itu. Tapi saat ini, genggaman itu seolah mencekik leherku hingga napasku habis.

Bahkan, aku masih bangga ketika aku mendapat kesempatan mengabdi di seluruh pelosok negeri. Setelah magang beberapa bulan di ibu kota, akhirnya surat sakti itu keluar. Ketika kami telah mulai dimanja oleh gemerlap ibu kota, saat kami terbiasa dengan jalanan yang ramai dengan klakson dan asap. Tapi negeri ini bukan hanya ibukota, Nak! Ucapan atasanku itu masih aku ingat dalam-dalam.

Masih kuingat pula, teman-temanku menangis, terutama yang perempuan. Beberapa yang lelaki tak sampai menangis, tapi berkaca-kaca matanya. Ada yang hanya tersenyum tipis. Tapi tidak ada yang melonjak kegirangan, entah memang tak ada yang merasa bahagia atau merasa sungkan melihat teman-temannya yang lainnya. Aku? Aku lebih banyak berdoa, semoga aku tak lama berada di sana. Bukan aku yang menangis, ibuku dan dia yang kini menjadi pendampingku yang justru menangis. Ah, istriku yang cantik dengan senyum termanis di dunia. Dan putriku yang lucu, buah hatiku yang ceria dan bersemangat. Doaku saat ini, semoga aku tidak berada di sini lebih lama lagi. Bahkan, terkadang aku berharap esok aku akan terbangun mendengar keriuhan dapur rumahku.

Entah kenapa, aku memang tidak lama berada di sana, di ujung timur negeri ini. Sebagai gantinya, aku dipindahkan di sebuah pulau tak jauh dari kampung halaman. Tak masalah, yang terpenting aku bisa berjumpa dengan istri anakku lebih sering, tiap minggu kalau bisa. Sebagai pembalasan dendam selama ini aku jarang pulang karena ongkos perjalanan yang menguras dompet. Ah, Tuhan memang selalu adil pada umatnya.

Aku terlelap tanpa sadar.

...**...

Kemejaku putih bersih, celanaku hitam legam. Istriku kemarin menyodorkan sepasang pakaian ini kepadaku. “Supaya ga malu-maluin” demikian katanya. Istriku yang cantik, yang selalu tersenyum di depanku, walaupun aku bisa melihat bawah matanya menghitam. Aku harap dia tidak menangis setiap malam.

“Zahra apa kabar? Puzzle dinosaurusnya udah selesai?” Begitu rindunya aku pada putriku dengan matanya yang bulat berkedip lucu.

“Dia baik-baik saja. Aku dan dia udah nylesein puzzle dinosaurus itu. Hmm..dia selalu bertanya, kapan Ayah pulang.”

Aku terdiam. Putriku yang manis, berlari-lari kecil dengan rambut ikalnya yang mengayun lucu. Aku pasti pulang.

“Kamu datang kan besok? Zahra jangan diajak ya.” Aku tak mau Zahra melihat ayahnya seperti kambing yang mau disembelih di hari Raya. Menyedihkan.

“Iya Mas.”

Aku menggenggam jemarinya erat sebelum kami berpisah. Wanita yang mengagumkan. Aku pasti pulang.
..***..
“Apakah Anda mengetahui bahwa tanda tangan itu palsu? Apakah anda memeriksa berkas SPM itu sesuai prosedur?” Suara hakim yang mulia terdengar jelas. Semuanya hening, tak ada suara lain. Hanya jarum jam yang berdetak.

Aku diam.

Hari itu aku berangkat ke kantor penuh semangat setelah mengecup kening Zahra. Sudah setahun kami berkumpul bersama di rumah kecil ini. Aku kembali ke ibukota.

Seperti biasa, di akhir tahun pasti kantor ini dibom oleh SPM yang menggunung. Masalah akut negeri ini. Semua gemar belanja di akhir tahun, bukan karena butuh melainkan lebih karena takut dibentak atasan sebab penyerapan dana yang minim. Bukankah begitu, ketika pemimpin negeri memarahi para pejabat, pejabat akan memarahi bawahan. Amarah itu menular, atau tepatnya harus ditularkan. Mencari kambing hitam.

Aku masih ingat ketika tiga orang itu mendekati Front Office membawa map biru. Aku sudah hafal dengan orang itu, seorang pria berwajah kebapakan yang senang bercanda denganku ketika bertemu. Seperti biasa, aku memeriksa dokumennya, lengkap. Mataku sedikit terpicing ketika menyadari uang yang dia cairkan lebih dari 9 digit. Apalagi ada sedikit perbedaan tanda tangan atasannya.

“Sebentar Pak. Saya harus ke dalam dulu.” Senyumku ramah pada bapak itu.

Mungkin sekitar 5 menit aku berdiskusi dengan atasanku, meminta pertimbangan beliau. Akhirnya, bapak tadi ditemani salah satu temannya saja aku persilahkan berbicara langsung dengan atasanku. Aku tidak ikut berbicara, hanya mendengarkan. Atasanku sudah mewakili setiap pikiran yang berkembang menjadi jaring-jaring prasangka di kepalaku.

Ada telepon untuk atasanku. Sempat berdialog sebentar, dan atasanku memintaku memproses berkas-berkas itu.

“Terima saja.” Singkat tapi harus aku laksanakan, meski ada yang mengganjal di hatiku. Aku tak menyangka perintah itu akan mengantarkan aku duduk di sini, berkemeja putih bercelana hitam legam, dicecar pertanyaan-pertanyaan yang membuatku muak.

Atmosfer di ruangan persidangan tiba-tiba bertambah berat ketika hakim mengulangi pertanyaannya. Telingaku seperti tuli. Hanya tampak mulut-mulut yang bergerak-gerak. Aku memicingkan mata berusaha menebak apa yang diucapkan hakim, pengacaraku, dan jaksa penuntut yang berwajah keras itu. Aku tak mengerti. Suara mereka seperti terperangkap. Bahkan detak jam menghilang.

Aku pingsan.

...**...

Ranjang ini berkeriyut ketika punggungku rebah di atasnya. Lelah. Walau hanya menjawab pertanyaan, aku merasa lelah. Tapi setidaknya aku bisa tersenyum ketika teman-temanku, istriku, keluargaku duduk di belakangku, mendukung.

“Kebenaran Pasti Menang”

Semoga spanduk yang direntangkan teman-temanku tidak hanya pepesan kosong, bahwa keadilan di negeri ini tidaklah buta. Semoga mereka tidak buta melihat tulisan merah menyala itu.
Aku masih ingat, aku sering mendengar berita bahwa reformasi di negeri ini terus berjalan. Termasuk reformasi keuangannya. Ada suatu sistem baru yang mereka kembangkan. Sistem yang menjadi tumpuan harapan untuk pengelolaan keuangan yang lebih baik dan mendatangkan manfaat yang jauh lebih besar dari sistem saat ini. Sistem yang mencegah teman-temanku menjadi kambing hitam yang dikirim ke bilik berjeruji. Sistem ini mereka sebut SPAN. Aku masih berharap masih bisa “menikmati” SPAN ini. Aku ingin terlibat dalam reformasi keuangan negeri ini. Bukan menjadi penonton, bukan penonton dari bilik berjeruji besi.

Ironi yang menyakitkan. Dahulu setelah pengumuman, ada sedikit syukur yang menyelip. Bahwa tempat kerjaku bukan tempat yang “basah”, jauh dari bahaya korupsi. Dan aku benci korupsi, kejahatan yang merampas hak orang kecil, seperti mencuri dari rakyat yang kesusahan. Korupsi itu egois, ketika yang lain menengadahkan tangan meminta recehan, koruptor meraup uang haram tak jelas asalnya.

Ironis sekali saat ini aku dituding membantu tindakan korupsi.

Ibuku dulu berpesan, jangan lupa berdoa sebelum bekerja. Itu uang rakyat, amanah ada di pundakmu. Berikan pada yang berhak, pada mereka yang seharusnya mendapatkan. Untuk ibuku kehidupan sesederhana agama. Semailah kebaikan, maka engkau menuai kebahagiaan. Ternyat memang hidup sederhana. Melakukan kebaikan. Dan mungkin pagi itu aku lupa berdoa kepada-Nya.

Masih ada persidangan lain hari.

Pengacaraku berjanji akan mendatangkan saksi ahli yang berkompeten. Bukan orang yang sok tahu dan berbicara ngawur tentang hukum tanpa tahu apa-apa. Sayangnya jaksa memilih orang seperti itu. Dan entah mengapa hakim mengangguk takzim setelah mereka berbicara dengan nada yang bahkan menurutku meragukan. Bahkan mereka yang belum lulus kuliah di almamaterku tahu itu dusta. Jaring-jaring prasangka berkembang lagi di pikiranku. Seolah-olah dunia berkonspirasi menahanku tinggal di bilik berjeruji besi ini.

Kebenaran pasti menang. Aku masih berusaha mempercayainya. Tapi seperti anak yang dibohongi ibunya bahwa di bulan ada seorang nenek duduk merajut, aku merasa sangsi. Apakah kebenaran memang ada? Tapi yang pasti kebenaran membutuhkan uang. Tapi aku tak mau menghinakan diriku lebih dalam lagi dengan membeli kebenaran. Tidak akan.

Mungkin seperti aku yang mengutuk malam yang panas, orang-orang atas membutuhkan kambing hitam untuk melunasi dosa mereka. Akulah kambing hitam itu, seorang bawahan yang hanya dikenal beberapa orang. Tidak dikenal orang-orang atas, tidak dikenal orang-orang militer berpangkat. Seorang kambing hitam yang sempurna. Tanpa kekuatan besar yang akan membela.

Aku hanya masih bisa tersenyum melihat mereka yang masih berdiri menyokong dari belakang. Dan pastinya, bila kebenaran tidak ada, Allah pasti ada. Tidak buta dan Maha Adil. Itu yang aku yakini.

Dan malam ini udara panas semakin menyengat. Mataku terpejam dan pikiranku nyalang. Berharap aku memeluk putriku dalam tidurnya.

Aku pasti pulang.

Malam ini kembali terbakar.


----SMI, hari keduapuluh purnama keenam, 11 : 37 ---

1 komentar:

  1. gubrak..ujarku bener2 wis penempatan.
    terus kok ada 'istriku'. kaget..

    BalasHapus