29 Mei 2012

Stop Atrazine Demi Alam

dari sini
Akhir minggu lalu saya mudik, melepas kerinduan kepada keluarga di sebuah desa di Kulon Progo, Yogyakarta. Ketika pagi hari saya terbangun di rumah, sawah menjadi tujuan kaki saya melangkah. Daun padi yang hijau tergelar luas, air embun tergantung di ujung daun, terasa dingin menyegarkan di kulit kaki saya. Saya rindu sensasi ini, sensasi pedesaan yang hijau, segar, dan alami. Jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta yang meracuni penduduknya.
Saya teringat, sawah ini biasanya ditanami padi dan jagung bergantian, tergantung ketersediaan air. Bapak masih menggunakan kombinasi pupuk alami dari kotoran hewan yang kami pelihara dengan pupuk buatan semacam urea dan kawan-kawan. Namun bapak tak pernah menyemprot tanaman padi maupun jagung kami dengan pestisida, herbisida, dan fungisida yang banyak beredar di toko pupuk desa. Ketika saya iri melihat hasil panen tetangga yang melimpah ruah dan mendesak bapak untuk mengikuti jejak mereka yang memanfaatkan teknologi, bapak bergeming. Kata bapak, tanaman yang kami tanam akan dimakan, entah padi atau jagungnya untuk manusia atau daun dan batangnya untuk sapi kami, jadi harus sehat dan bersih. Segala obat-obatan tersebut adalah racun. Dan kita tidak mau kan dicekoki oleh racun-racun itu?
Atrazine
dari sini
Beberapa hari lalu, saya sempat membaca artikel di situs VOA tentang pro kontra penggunaan sejenis herbisida bernama Atrazine di Amerika Serikat. Herbisida adalah obat kimia untuk membasmi gulma pada tanaman pangan. Banyak petani di AS menggunakan  herbisida karena hasil panen menjadi berlipat ganda, dan tentu saja dolar yang diraup semakin besar. Atrazine adalah herbisida paling populer di negara Paman Sam tersebut. Buktinya, dalam satu tahn sekitar 80 juta pon atrazine digunakan di ladang-ladang pertanian Amerika. Penggunaan herbisida, pestisida, dan –ida lainnya memang merupakan salah satu pilar pertanian modern.
Apabila membandingkan metode bertani keluarga saya yang semi tradisional dengan metode bertani ala modern, tentu terbayang perbedaan jauh jumlah panenan setiap tahun. Akan tetapi, apakah prinsip bapak saya untuk tidak “meracuni” tanaman kami itu sudah usang dan ketinggalan zaman? Apakah pertanian modern adalah satu-satunya solusi memenuhi kebutuhan pangan yang melaju demikian cepatnya?
Pertanian modern seperti saat ini pertama kali dipelopori oleh Ford dan Rockfeller Foundation di tahun 1960-an. Usaha yang dinamakan Revolusi Hijau ini dimulai dengan pengembangan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Nama besar negara agraris di masa lalu yang melekat pada Indonesia tak lepas dari revolusi hijau sehingga swasembada pangan negara kita tercapai antara 1984-1989. Salah satu pilar utama untuk mencapai swasembada pangan itu ialah penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu.
dari sini
Penggunaan pestisida dan herbisida tidak hanya memberikan hasil panen yang melimpah, tetapi juga kerusakan lingkungan yang parah. Seperti halnya dengan penggunaan herbisida atrazine di AS, makhluk hidup yang menjadi target lama kelamaan menjadi resisten. Walhasil, petani umumnya akan menambah dosis obat-obatan. Kenaikan dosis secara progressif bukanlah pemecahan masalah, malah justru membuat masalah baru yaitu resistensi tinggi organisme pengganggu.
Dampak Penggunaan Atrazine
Jika kita kembali menilik penggunaan atrazine, sebuah penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa atrazine mempengaruhi perubahan jenis kelamin katak jantan menjadi katak betina di AS.
dari sini
dari sini
"Katak jantan yang terpajan atrazine kehilangan sifat maskulin (terkebiri secara kimiawi) dan benar-benar menjadi betina saat dewasa," tulis Tyrone Hayes dari University of California Berkeley dan rekannya di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Hayes dan rekannya mengkaji 40 katak bercakar dari Afrika, memelihara hewan itu di air tercemar dengan atrazine 2,5 ppb (bagian per juta). Standard air minum EPA saat ini ialah 3 ppb. Katak jantan yang terkontaminasi Atrazine, 90% memiliki tingkat Hormon testosteron yang rendah, alat kelamin mengecil, jumlah sperma yang menurun, dan peningkatan ketidaksuburan. Tentu saja hal ini mempengaruhi populasi katak dan selanjutnya mempengaruhi populasi predator katak maupun makhluk yang dimangsa katak. Bahkan dengan musnahnya gulma penganggu akan mengguncang keseimbangan alam. Setiap makhluk ciptaan Tuhan terlibat dalam suatu sistem yang disebut rantai makanan. Rantai-rantai makanan terhubung menjadi jaring-jaring makanan. Rantai dan jaring-jaring makanan bukan hanya sekedar hubungan makan dan dimakan tetapi juga transfer energi dan keseimbangan alam. Ketika suatu organisme punah (misalnya karena pestisida,dkk.), alam membentuk rantai makanan yang baru. Misalkan, petani memakai herbisida untuk membasmi rumput sawah, maka para pemakan rumput sawah kehilangan makanannya. Ada dua kemungkinan, mereka akan beralih memakan tanaman lain atau malah ikut punah. Kepunahan ini akan mempengaruhi keberadaan spesies lainnya yang memakan mereka. Hal ini akan berdampak pada spesies lain secara berantai dan sistemik.
Penelitian lain malah mengungkapkan hasil yang mencengangkan. Berdasarkan penelitian Universitas Washington di Seattle, AS, bayi yang lahir dari ibu yang tinggal dalam radius 25 km dari lahan yang terkontaminasi atrazine memiliki risiko gastroschisis lebih tinggi. Gastroschisis adalah kelainan pada dinding perut yang menyebabkan usus dan organ lain berkembang di luar perut. 
Jadi wajar apabila penolakan penggunaan Atrazine di AS begitu keras. Akibat penggunaan herbisida produksi Syngenta tersebut memang tidak main-main. Indonesia yang masih berusaha mengembalikan pamornya sebagai negara agraris seharusnya tidak terjebak masalah yang sama. Hasil produksi pertanian yang tinggi bukanlah alasan untuk mengabaikan lingkungan. Dengan lingkungan yang terjaga, manusia juga akan menikmati kehidupan yang lebih baik. Pestisida, herbisida dll. Tidak haram untuk digunakan. Hanya saja mengingat kondisi alam kita yang mulai memburuk, petani harus sadar untuk pelan-pelan mengurangi penggunaan zat kimia dan beralih ke zat ataupun metode alami.
dari sini

dari sini

dari sini

Demi alam yang lebih baik lagi J
 referensi :

1 komentar:

  1. Amazing article! Hope farmers around the world are aware of the dangers of pesticide use.

    BalasHapus