…Cerita ini saya dengar ketika ngabuburit di sebuah masjid di deket kampus STAN tercinta…
Seorang ibu tua, mungkin lebih tepat dipanggil nenek sebenarnya, duduk di kursi sampingku. Pakaiannya sederhana. Kuharap dia tidak berteriak dan memeluk tubuhku saat pesawat berguncang sedikit meninggalkan daratan. Hufff..
Pesawat yang kami tumpangi mulai tinggal landas dengan mulus. Si nenek pun duduk manis menatap ke luar jendela. Nampaknya aku salah sangka, sepertinya ini bukan pertama kalinya dia naik pesawat terbang. Tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan tersenyum bijak.
“Pemandangan di luar sungguh indah bukan? Tentunya mas udah berkali-kali naik pesawat dan menikmati pemandangan indah ini,” nenek itu bertanya padaku dengan perlahan.
“Saya sudah beberapa kali berkunjung ke luar negeri bu, dan pemandangannya itu-itu saja. Kalau boleh tahu ibu juga hendak ke Malaysia? Menjenguk putra ibu ya?” Aku berusaha menjaga sopan-santunku.
“Oh iya nak. Anak bungsu saya menetap di Malaysia sejak 5 tahun lalu nak. Kedatangan saya ke sana atas undangannya.”
“Putra ibu bekerja di kota mana bu? Kuala Lumpur?”
“Iya benar nak. Tapi anak saya tidak bekerja, dia kebetulan meneruskan S3-nya di Malaysia. Dan besok adalah hari wisudanya.”
Aku cukup terkejut atas jawaban nenek itu. Betapa tidak, seorang ibu sederhana ini hendak menghadiri wisuda S3 anak bungsunya. Aku berusaha membayangkan anggota keluarga ibu tersebut.
“Selamat ya bu. Pasti membanggakan memiliki putra yang berhasil seperti putra ibu itu. Bagaimana dengan putra-putra ibu yang lain?”
“Anak saya 4 orang mas. Ayah mereka meninggal 33 tahun yang lalu, ketika si bungsu berumur sebulan. Sejak itu, saya membesarkan mereka sampai mereka dapat menemukan jalan hidup mereka sendiri. Seperti si bungsu ini, kini telah menyelesaikan S3-nya.”
Ibu itu melanjutkan ceritanya.
“Anak ketiga saya, Alhamdulillah, bekerja sebagai direktur utama BUMN. Sedangkan yang kedua, menetap di Inggris mas, karena pekerjaannya sebagai konsultan perusahaan-perusahaan besar membuatnya wira-wiri kemana-mana,” Ibu itu tersenyum kecil.
Sungguh mengagumkan anak-anak ibu ini. Pasti sebuah perjuangan yang sangat berat membesarkan mereka, hingga kini benar-benar menjadi orang. Tetapi cerita ibu itu belum lengkap, aku masih penasaran dengan si sulung. Pastilah si sulung adalah seseorang yang sukses dan memiliki jabatan yang tinggi.
“Bagaimana dengan anak sulung ibu?”
Senyum tipis kembali menghiasi wajah teduhnya.
“Anak saya yang pertama adalah yang paling membanggakan saya mas. Bisa dibilang bahkan mungkin melebihi adik-adiknya. Berkat dia-lah, ketiga adiknya dapat bersekolah hingga sekarang menjadi orang. Berkat dia-lah, saya kuat berjuang demi adik-adiknya. Dia bekerja tak kenal lelah. Memanjat pohon kelapa, menyadap nira dan membuat gula kelapa. Di sela waktu istirahatnya, dia membuat sapu lidi untuk dijual ke pasar atau berkeliling desa. Ya mas, dia menjadi penyadap nira kelapa. Penghasilannya setiap hari untuk menghidupi kami sekeluarga, untuk menyekolahkan adik-adiknya. Sungguh, saya sangat bangga pada putra sulung saya.” Tampak mata ibu itu berkaca-kaca, menahan rasa haru dan rasa rindu pada putranya tersebut.
Aku terpana dengan cerita ibu sederhana di sampingku itu. Ternyata, meskipun jauh dari perkiraanku sebelumnya, putra sulung ibu itu justru lebih mengagumkan dari dugaanku. Bukan jabatan yang tinggi dan kekayaan yang berlimpah, tetapi hati yang mulia, yang mau berjuang dan berkorban demi adik-adiknya.
“ Terimakasih bu.” Aku bersandar pada kursi empukku, berpikir dalam diam..ternyata kesuksesan tidak seperti yang aku pikirkan sebelumnya..
Beberapa belas menit kemudian, pesawat kami mendarat di Kuala Lumpur. Aku dan ibu itu berpisah, tak lupa aku titipkan salam bagi setiap putra ibu tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar