19 Januari 2012

"Robohnya Surau Kami", Sebuah Sindiran


Beberapa waktu lalu saya berhasil menjadi anggota “baru” perpustakaan di kota saya. Alhamdulillah, mekanisme pendaftaran yang dulu kerap merepotkan karena formulir pendaftaran harus ditandatangani kepala desa telah diubah. Kali ini formulir yang telah diisi bisa langsung dikembalikan ke lobi perpustakaan. Sayang banget, saya bukan pengunjung pertama,hehe

Pilihan buku saya jatuh pada sebuah buku kumpulan novel yang cukup uzur dan dikenal banyak orang, Robohnya Surau Kami. Buku ini pernah saya baca saat SMA dan hingga kini tidak sedikitpun kehilangan pesonanya. A.A. Navis, sang pengarang buku, menyajikan 10 karya cerpen beliau. Sesuai dengan judulnya, intro dari buku ini adalah cerpen “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini adalah cerpen yang paling menarik dan mengandung pesan-lebih tepatnya sindiran-bagi kita semua. Pesan penting dalam cerpen tersebut berkaitan dengan ibadah yang manusia lakukan. Hal ini tercermin dalam percakapan antara “Tuhan” dengan “Haji Saleh”. Tokoh “Haji Saleh” yang semasa hidupnya giat beribadah, memuji nama-Nya tanpa jeda, justru diseret malaikat ke neraka. Hal serupa pun terjadi pada teman-temannya yang semasa hidupnya merasa telah mengabdi kepada Tuhan. Setelah mereka berdemonstrasi, akhirnya “Tuhan” membuka rahasia sebab musabab mereka menghuni neraka.

“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”

Selain itu, dialog dari si Malaikat kepada “Haji Saleh” lebih mempertegas lagi.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahn engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi kau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahan terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”


Sedangkan cerpen Nasihat-nasihat bila dibaca akan membuat kita tertawa, minimal tersenyumlah. Benar-benar sindiran buat orang tua yang kenyang pengalaman dan merasa tahu segalanya. Datangnya dan Perginya berkisah tentang seorang laki-laki tua yang berkunjung ke anaknya yang telah menikah. Cerpen ini layak menjadi renungan bagi kita semua karena isi di dalamnya benar-benar menohok. Cerpen kesembilan bertajuk Penolong menyorot tentang sisi kemanusiaan saat terjadinya kecelakaan kereta api. Ada bagian yang menarik, yaitu saat orang-orang ragu untuk menolong “Mak Gadang” yang terkenal berperilaku buruk. Apakah menolong orang melihat orang tersebut atau baik? Di sini kita patut bertanya pada hati kita. Bahkan di akhir cerita, ternyata satu-satunya orang yang “menolong” korban di dalam gerbong hanyalah orang gila. Lalu kemana orang-orang “waras” lainnya?

Buku “Robohnya Surau Kami” menjadi salah satu media pembelajaran kehidupan yang bagus. Memotret kejadian kehidupan yang kadang kita temui, tapi kita sepelekan, atau kita pura-pura tidak peduli padanya.


Selamat membaca teman-temaaaan...:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar