26 November 2011

Labilism

Paling sering saya denger kata-kata “labil” akhir-akhir ini. Selalu saja konotasinya buruk. Orang yang nulis puisi dibilang labil, yang cerita-cerita dibilang labil. Yaaah, saya ngerti kok itu becanda. Saya juga ga marah, tapi saya juga ngobrolin ini sedikit.


Anda tahu pasar investasi Jepang sangatlah ketat aturannya demi menjaga kestabilan ekonominya? Bahkan imbal hasil investasi di sana hanya berkisar 1-2% saja. Tapi, jangan ditanya. Tidak semua peluang investasi bisa masuk, yang agak beresiko pun ditendang, makanya ekonominya stabil. Tapi, liat dulu pertumbuhan ekonomi Jepang pun tidak dapat berjalan secepat Indonesia yang notabene negara dengan pasar dan labil. Itulah mengapa saya bilang labilititas membawa kemajuan. Tidak sepenuhnya benar memang, tapi tidak mutlak salah juga kan?

Banyak dari kita yang suka membaca. Tentu bukan baca buku pelajaran (hahaha), banyak yang demen baca novel dan komik. Novel dan komik adalah ungkapan perasaan kita. Ada senang, sedih, cinta, kemarahan, ketegaran, dll. Puisi pun begitu, melalui kata-kata bersayapnya puisi bisa menyihir pembacanya tapi tetap menyampaikan pesan terdalamnya. Saya masih ingat benar dimana saya pertama kali dengar “Jembatan”-nya Sutardji Calzoum Bachri dideklamasikan dengan sangat mempesona.
Lagu melayu juga membanjiri tanah air. Kata orang, banyak lagu yang cengeng. Saya setuju! Tapi, sebagaimana dengan mereka yang mencela, saya juga mendengarkan. Mengapa? Karena terkadang enak di telinga. Para pencipta lagu mampu mengkomersialisasikan labilitas hati manusia. Pop, melayu, dangdut, jazz, rock, sampai death metal. Jangan kau hiraukan liriknya, dengarkan saja nada-nadanya. Bila kau terkesan, bolehlah kau cerna liriknya dalam-dalam. Cobalah dengar lagi bagaimana Iwan Fals memprotes melalui “Manusia Setengah Dewa”. Musik itu awal-awalnya masalah telinga kan…

Saya jadi kadang membayangkan, bagaimana bila semua orang menjaga nada suaranya agar tetap stabil, tanpa perasaan. Bagaimana bila manusia berpura-pura bisa menangani semuanya. Bagaimana bila semua stabil berjalan, tanpa turunan dan tanjakan, tanpa kesedihan dan kebahagiaan. Bukankah Anda akan mengerti indahnya kebahagiaan bila Anda pernah jatuh dalam kesedihan? Dan pengungkapan bukan suatu dosa besar. Manusia diberi 2 telinga agar banyak mendengar. Tapi untuk mendengar harus ada yang bicara.

Hampir sebagian besar manusia memiliki pikiran yang sama. Buktinya? Ada aja yang komen ma nge-like status yang katanya “labil”. Nah lho? Mulut mencela, hati ternyata sama.

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa labilitas juga ada sisi positifnya, dan itu tidak berarti stabilitas adalah kesalahan, bahkan sok stabil juga ga salah.
Banyak yang berani berpikir, tapi langka yang mau mengungkapkannya. Dan seakan nyaris punah mereka yang berpikir, berucap, dan bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar