5 Juni 2011

Syukur dan Kerja

Setiap hari, hampir di setiap tempat yang kita singgahi, bahkan di sudut-sudut lingkungan yang kita huni, kita akan menemukan manusia yang berusaha demi menyambung hidupnya dan keluarga mereka…

Pas berangkat kembali ke tanah perantauan tercinta ini, di bus yang amat sering saya tumpangi itu, ada dua orang pengamen yang menyelinap naik bus di seputaran Kebumen. Seperti pengamen-pengamen umumnya mereka bekerja dengan alat musik mereka, menghibur para penumpang. Entah kami terhibur atau tidak. Gitar dipetik, kendang buatan dari pralon ditabuh menyemarakkan suasana. Dan tebaklah saudara-saudara, lagu yang diusung adalah lagu beraliran legendaris yang kita cintai, dangdut. Meskipun di kalangan anak-anak muda dan sok muda jaman sekarang dangdut menempati chart list terakhir, tapi sungguh kedua pengamen itu mampu menyedot perhatian dengan musik yang dibawakan mereka. Bagus.

Dan sambil menunggu bus berlabuh di terminal Kebumen, mereka duduk di dekat saya di deretan kursi paling belakang. Seorang meminta permisi kemudian mengobrol dengan temannya. Yang saya tangkap, dia bersyukur meskipun sedikit yang dia dapat.

Setiap kita berjalan-jalan di tengan hutan besi Jakarta, kita akan menemukan pedagang-pedagang asongan yang harus bersaing ketat dengan minimarket-minimarket yang bertebaran di pinggir jalan. Komoditi yang mereka tawarkan pun sebenarnya benar-benar memperhitungkan kebutuhan kita di jalan. Anda haus? Ada minuman dingin. Anda kepanasan dan gerah? Ada kipas dan tisu untuk mengelap keringat. Bahkan ada pula yang menjajakan boneka untuk anak Anda, ada yang menjajakan alat tulis, dan ada saja yang menjajakan buku-buku agama misalnya tentang salat. Seakan-akan menyindir kita telah melaksanakannya, tapi lupa maknanya. Atau lebih parah lagi, kita terperangkap rutinitas metropolitan dan melupakan hak kita bertemu Dia?

Tak kurang dari itu, dimana-mana ada pengamen. Tidak hanya pengamen bergitar, tetapi juga pengamen yang mengandalkan suara dan keplokan tangan. Ada yang bercerita di atas bus, ada yang menjual debusnya menjadi atraksi dengan menyilet badannya sendiri yang justru membuat kami ngeri daripada kagum. Macam-macam.

Banyak pula yang mendorong gerobaknya menyusuri pinggir-pinggir kota. Menjual apa saja, dari bakso, mie ayam, siomay, es, jepitan rambut, karet, mainan, macemacem lah. Kadang pula kita bertanya seberapa sih yang mereka dapat?Cukupkah untuk hidup?
Pertanyaan-pertanyaan itu juga sering terlintas saat saya ketika melintas jalan-jalan di kota Wates yang kecil. Banyak toko-toko, lengkap barang dagangannya, tapi jarang saya melihat ada yang memilih-milih, apalagi menenteng belanjaan keluar dari toko-toko itu. Kata ibu saya, toko itu sudah berdiri sejak lama. Dan sekarang mungkin mereka tergerus oleh kemajuan zaman dan persaingan toko-toko generasi baru. Saya kembali berpikir, bila memang nggak laku, kenapa tetap buka? Apakah hanya sekadar melanjutkan usaha yang telah dirintis nenek moyang? Buat saya, keberhasilanusaha yang paling mudah dilihat adalah dengan perputaran pelanggannya. Seberapa sering pelanggan datang dan berbelanja. Seneng aja ngeliatnya.

Ada suatu program televisi yang bermakna dalem. Orang-orang berada mencoba hidup dan bergaul dengan mereka yang hidup jauh dari kecukupan. Menginap, makan bersama, ikut membantu si pemilik rumah yang ditumpanginya. Dari situlah, orang-orang yang berpunya menjadi menyadari betapa beruntungnya mereka dan lebih mensyukuri keadaan mereka. Ternyata mencari sesuap nasi bagi sebagian teramat sulit. Dan bagusnya, di akhir acara kita diajarkan untuk berbagi, meskipun sedikit.

Sempat si bapak yang kurang mampu itu ditanyain : “Bapak ga marah sama Tuhan, bapak udah kerja sedemikian keras buat cari uang tapi hasilnya hanya sedikit gini pak?”
Si bapak senyum lugu : “Yah, pernahlah bertanya seperti itu. Udah kerja mati-matian kenapa ga kaya-kaya. Tapi Bapak juga sadar kok. Cuma dikasih sehat saja Bapak udah seneng banget, udah bersyukur banget.”

Wow…mengagumkan. Sungguh mengagumkan, mereka yang justru tidak memiliki kekayaan yang melimpah ruah, jauh dari kecukupan untuk hidup layak, ternyata memiliki kekayaan hati yang tak akan ternilai oleh mata uang apapun.

Bisa saja, mereka yang hanya mendorong gerobak kesana-kemari, menyanyi di bus kota, mencari sisa-sisa barang, memiliki hati yang lebih kaya daripada kita yang hidup berkecukupan. Kebahagiaan bukan dari harta kan, tapi dari hati. 
Bersyukurlah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar