9 April 2013

Apa yang Seharusnya Dia Lakukan?

Sudah kesekian kalinya saya naik kereta, entah menuju kampung halaman atau ibukota, dan sudah kesekian kalinya saya menulis pengalaman saya naik kereta di blog ini. Akan tetapi, baru-baru ini ada satu kejadian kecil yang benar-benar menyentil hati dan pikiran saya.

Kali ini saya menumpang kereta Serayu. Bertolak dari stasiun Jakarta Kota dan berakhir di stasiun Kroya. Kereta Serayu ini melintasi kota Bandung dan berhenti sejenak di stasiun Kiara Condong. Di sinilah terpapar cerita kehidupan yang mungkin sering kita saksikan, namun jarang kita renungkan.

Saya duduk terkantuk-kantuk ketika kereta ini berhenti di Stasiun Kiara Condong. Tidak ada pedagang yang melintas menjajakan kopi atau mie pengganjal perut. Tiba-tiba, masuklah seorang anak, merangkak dengan sapu di tangan. Kira-kira 15 tahun-lah usianya saya tebak. Seorang tukang sapu kereta, padahal perusahaan kereta negeri ini telah memiliki petugas cleaning service tersendiri.
sumber

Mulailah anak itu menyapu kolong kursi sebelah saya. Penumpang yang masih dilanda kantuk berat tidak mempedulikannya. Tidak ada uang recehan yang mendarat di tangannya. Dia pun beralih menyapu kolong kursi saya. Meminta sedikit recehan untuk upah menyapunya. Saya merogoh kocek, ada uang 500 perak. Saya ulurkan padanya dan diterimanya dengan ucapan terimakasih.

Tak disangka datang seseorang yang berseragam. Di bagian depan, tertulis “satpam”. Dialog antara keduanya pun terjadi, campuran bahasa Indonesia dan Sunda, tapi kira-kira seperti ini :

A : Anak, S : Satpam

S : Ngapain kamu di sini?
A: Nyapu pak. Cari duit.
S : Kan udah nggak boleh lagi. Ngapain masih masuk-masuk?!
A : Cari duit pak. Saya juga butuh makan.
S : Kamu mau bikin saya dipecat??
A : Bapak kan bukan Polsuska, jadi ga bisa dong nglarang saya. Lagian yang dagang pada boleh masuk, kenapa tukang sapu nggak boleh?
Kalau saya nggak nyapu, Bapak mau kasih saya makan?!
S : Awas kamu,saya panggilin Polsuska (sambil mengeluarkan HP)
A : Silahkan pak, saya ga salah,saya ga maksa. Tanya sama mas ini (menunjuk ke saya)


Hening selama beberapa menit. Namun akhirnya si Anak beringsut keluar sebelum Polsuska datang.

Kejadian yang biasa dan mungkin sangat sering terjadi di dunia ini, terutama Indonesia. Tapi keberanian si anak mempertanyakan sesuatu yang menurut dia adalah ketidakadilan membuat saya tercenung. Ketidakadilan karena dia dilarang untuk mencari sesuap nasi dengan menyapu lantai kereta. Lalu bagaimana dia bisa makan?

(Sepertinya) si satpam tidak peduli, bagaimana dia mau menyambung hidup, yang terpenting adalah jangan menyapu lantai kereta ada peraturan melarang. Salahkah pak satpam? Bukankah dia juga menjalankan tugas yang dia emban? Dan apabila tugas tersebut lalai dikerjakan, ia khawatir dia akan dipecat. Lalu bagaimana dia makan? Bagaimana keluarganya mau makan?

Hal yang unik di sini karena alasan yang mereka pegang ternyata sama, urusan perut sehari-hari. Mereka melakukan pekerjaan yang mereka bisa. Sayangnya pekerjaan mereka bertentangan, bagai polisi dan pencuri. Tetapi, si anak itu hanya menyapu tidak mencuri. Meminta sedikit kemurahan hati pun dengan suara yang tidak memaksa. Dia hanya melanggar aturan bahwa dia tidak boleh menyapu di kereta. Perusahaan kereta sudah memiliki tenaga cleaning service tersendiri yang sudah digaji. Dia melanggar peraturan perusahaan sang pemilik kereta.

Namun, ketika aturan itu dibuat adakah yang ingat padanya? Memikirkan nasibnya? Entahlah. Banyak anak-anak seperti dia yang sangat sangat ingin kembali bersekolah, meraup berbagai ilmu demi masa depan yang lebih baik. Uang jadi dinding pendidikan yang teramat susah untuk diloncati. Makan lebih penting.

sumber
Bila mencari makan dilarang,

kehilangan kesempatan bersekolah, 


apa yang seharusnya dia lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar