7 Januari 2013

Seni Cukur

Tadi sore saya menyambangi tukang cukur dekat kos. Tempatnya nggak terlalu besar, hanya dua kursi tempat pelanggan saat bercukur saja. Pelanggan  yang mengantri disediakan kursi-kursi plastik. Tetapi mungkin si tukang cukur sendiri jarang duduk.

Terkadang otak saya memikirkan hal aneh saat pak tukang cukur memotong rambut saya.

Cukur atau pangkas rambut adalah seni.

Dan tukang cukur atau pangkas rambut itu adalah seniman.
dari sini

Aneh. Saya sendiri juga merasa pikiran ini aneh. Saya menganggap mencukur rambut itu seni, barangkali, karena dengan cukur rambut, seseorang bisa terlihat lebih ganteng atau cantik. Memperindah seseorang. Seni kan juga hampir sama, menciptakan sesuatu yang indah atau memperindah sesuatu yang sudah ada.

Indah itu relatif. Jadi kalau setelah kamu potong rambut, kamu nggak terlihat lebih indah (menurut kamu sendiri), mungkin intelektualitas seni kamu masih dangkal.

Pas saya kecil, saya biasanya potong rambut di tempat Pak Kawiyo. Sayangnya beliau sudah tiada beberapa tahun silam. Dulu, model rambut saya kalau nggak cepak ya belah pinggir pendek. Model standard anak-anak jaman 90an gitulah.

Rumah Pak Kawiyo kecil tapi indah. Di depan rumah ada pohon beringin besar dengan dipan di bawahnya tempat para tetangga bercengkerama di senja hari. Depan rumah itu dijadikan taman dengan banyak tanaman bunga dan perbukitan kecil dari semen. Ada kolam kecil berisi ikan koi yang berseliweran di beningnya air. Mungkin ini rumah seniman pertama yang saya kunjungi.

Tempat bercukur adalah ruang tamu beliau. Ada sofa yang sederhana buat yang menunggu. Bapak selalu mengobrol dengan Pak Kawiyo ketika menunggui anaknya dicukur. Ada saja obrolan orang tua.

Dan di bagian bawah meja ruang tamu itu selalu ada surat kabar. Sebagai obat bosan para pengantri cukur. 

Paling sering ya koran kebanggaan orang Jogja, Kedaulatan Rakyat.

Yang paling unik di ruangan itu adalah batang kayu yang diukir dan dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi indah. Sungguh-sungguh unik. Banyak batang pohong dengan beragam rupa yang menarik. Siapa sangka Pak Kawiyo menemukan batang itu tergeletak di pinggir kali. Bila tak tersentuh tangan seni beliau, tentu batang-batang itu telah menjadi abu di tungku dapur.

Pak Kawiyo begitu menikmati pekerjaannya ketika mencukur rambut.

Mungkin karena beliau juga menganggap memangkas rambut adalah seni. Seperti seni rupa mengubah batang kayu menjadi benda seni.

Pak kawiyo adalah “seniman rambut” pertama yang saya kenal.

Ya, mencukur rambut adalah seni. Walaupun tak ada satupun jurusan seni cukur di institut seni negeri ini.

dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar