Tadi sore saya
menyambangi tukang cukur dekat kos. Tempatnya nggak terlalu besar, hanya dua kursi tempat pelanggan saat bercukur
saja. Pelanggan yang mengantri
disediakan kursi-kursi plastik. Tetapi mungkin si tukang cukur sendiri jarang
duduk.
Terkadang otak
saya memikirkan hal aneh saat pak tukang cukur memotong rambut saya.
Cukur atau
pangkas rambut adalah seni.
dari sini |
Aneh. Saya
sendiri juga merasa pikiran ini aneh. Saya menganggap mencukur rambut itu seni,
barangkali, karena dengan cukur rambut, seseorang bisa terlihat lebih ganteng
atau cantik. Memperindah seseorang. Seni kan juga hampir sama, menciptakan
sesuatu yang indah atau memperindah sesuatu yang sudah ada.
Indah itu
relatif. Jadi kalau setelah kamu potong rambut, kamu nggak terlihat lebih indah
(menurut kamu sendiri), mungkin intelektualitas seni kamu masih dangkal.
Pas saya kecil, saya biasanya potong
rambut di tempat Pak Kawiyo. Sayangnya beliau sudah tiada beberapa tahun silam.
Dulu, model rambut saya kalau nggak
cepak ya belah pinggir pendek. Model
standard anak-anak jaman 90an gitulah.
Rumah Pak Kawiyo
kecil tapi indah. Di depan rumah ada pohon beringin besar dengan dipan di
bawahnya tempat para tetangga bercengkerama di senja hari. Depan rumah itu
dijadikan taman dengan banyak tanaman bunga dan perbukitan kecil dari semen.
Ada kolam kecil berisi ikan koi yang berseliweran di beningnya air. Mungkin ini
rumah seniman pertama yang saya kunjungi.
Tempat bercukur
adalah ruang tamu beliau. Ada sofa yang sederhana buat yang menunggu. Bapak
selalu mengobrol dengan Pak Kawiyo ketika menunggui anaknya dicukur. Ada saja
obrolan orang tua.
Dan di bagian
bawah meja ruang tamu itu selalu ada surat kabar. Sebagai obat bosan para
pengantri cukur.
Paling sering ya koran kebanggaan orang Jogja, Kedaulatan
Rakyat.
Yang paling unik
di ruangan itu adalah batang kayu yang diukir dan dibentuk sedemikian rupa
hingga menjadi indah. Sungguh-sungguh unik. Banyak batang pohong dengan beragam
rupa yang menarik. Siapa sangka Pak Kawiyo menemukan batang itu tergeletak di
pinggir kali. Bila tak tersentuh tangan seni beliau, tentu batang-batang itu
telah menjadi abu di tungku dapur.
Pak Kawiyo
begitu menikmati pekerjaannya ketika mencukur rambut.
Mungkin karena
beliau juga menganggap memangkas rambut adalah seni. Seperti seni rupa mengubah
batang kayu menjadi benda seni.
Pak kawiyo
adalah “seniman rambut” pertama yang saya kenal.
Ya, mencukur
rambut adalah seni. Walaupun tak ada satupun jurusan seni cukur di institut
seni negeri ini.
dari sini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar