14 Juli 2010

Pajak dan Retribusi Makin Aksi

Beberapa hari yang lalu, dosen saya memberikan kuliah yang nggak-nggak jauh-jauh amat dari daerah, soalnya beliau memang berasal dari DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan) dan mengampu mata kuliah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah a.k.a PKPD.

Di pagi yang cerah rupawan itu, pak dosen menjelaskan mengenai dua komponen penting dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tak lain dan tak bukan kedua bersaudara itu adalah Pajak daerah dan Retribusi daerah. Apa sih bedanya? Simpel aja, pajak tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada wajib pajak, sedangkan retribusi menyediakan kontraprestasi langsung kepada wajib bayar. Pajak harus dibayar bukan karena masyarakat mendapatkan pelayanan, tetapi karena Undang-Undang mengharuskan hal itu. Beberapa pelayanan publik dari Pemerintah daerah mewajibkan para penikmatnya membayar sesuai pelayanan yang mereka dapat. Inilah yang disebut sebagai retribusi.
Dua komponen tersebut muncul sebagai konsekuensi dari prinsip desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah. Sampai saat ini, Indonesia belum mampu melaksanakan desentralisasi secara penuh. Buktinya adalah masih adanya kucuran Dana Perimbangan yang menyedot proporsi dari APBN cukup besar. Dana Perimbangan, utamanya Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan mengurangi gap (kesenjangan) ekonomi dan kemampuan fiskal antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah maupun antarPemerintah Daerah. Perbedaan sumber daya alam, kualitas sumber daya manusia, dan potensi ekonomi mendorong Pemerintah Pusat mengalokasikan transfer ke daerah ini.

Sejak tahun 2001 hingga kini, Pemerintah Pusat berusaha menekan alokasi transfer ke daerah. Kemandirian daerah di bidang pendanaan ditingkatkan secara bertahap. Lambat laun, Pemerintah Daerah harus mampu membiayai daerahnya sendiri dengan dana yang sebagian besar berasal dari usahanya sendiri. Maka, terjadilah pergeseran struktur pendanaan di daerah. Meskipun masih menerima “sumbangan” dari Pemerintah Pusat, pelan-pelan Pemerintah Daerah memperkuat mekanisme Pendapatan Asli Daerah, khususnya di sektor pajak daerah dan retribusi daerah.

Pemerintah Pusat telah mengatur masalah Pajak daerah dan Retribusi Daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terutama jenis pajak yang boleh ditarik dan tarif maksimal yang boleh dikenakan. Daerah bersangkutan bebas menerapkan pajak dan retribusi asalkan masih berada dalam koridor undang-undang tersebut.

Salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah pajak tidak boleh mendistorsi ekonomi. Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi dari wajib pajak yang berada di wilayahnya. Jika basis pajak yang diterapkan terlalu luas dan/atau tarif pajak dan retribusi terlalu tinggi, ekonomi biaya tinggi akan terjadi. Padahal, para investor (pengusaha) alergi dengan ekonomi biaya tinggi karena tentu saja akan menipiskan margin profit yang diperoleh. Apalagi, Pemerintah Daerah belum mampu secara konsisten memangkas rantai birokrasi serta membersihkan pungutan liar. Problem seperti inilah yang membuat investor berpikir ulang dalam menanamkan modalnya.

Kenyataan di lapangan membuktikan, iklim investasi yang kondusif masih berupa wacana di atas kertas akibat agresifnya daerah dalam mendongkrak PAD. Kajian Komite PemantauanPelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebutkan bahwa masih ada 3.024 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah yang bermasalah. Bahkan sebelumnya, Perda yang bermasalah mencapai angka 4.885.

Apakah ini sebagai dampak dari pemaksimalan PAD? Sepertinya, pemerintah daerah melupakan aspek ekonomi di daerahnya demi mendapatkan kas masuk yang besar. Fenomena ekonomi biaya tinggi akan mendorong perpindahan arus investasi ke daerah lain yang dinilai lebih kooperatif sekaligus menghadirkan iklim investasi yang kondusif dan kompetitif. Apabila jumlah investasi menurun, tentu saja pertumbuhan ekonomi dan ekspansi lapangan kerja akan stagnan, bahkan tumbuh ke arah kutub negatif yaitu maraknya pemutusan hubungan kerja. Walaupun akhirnya Perda-Perda tersebut dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, mekanismenya semakin sulit karena harus melalui Presiden pula. Hal ini tentu tidak efisien dan efektif serta menunjukkan ketidakprofesionalan Pemerintah daerah dalam mengelola “habitatnya” sendiri.

Saya masih ingat, pak dosen bilang salah satu cara efektif “mengusir” secara halus penduduk adalah melalui penerapan tarif pajak dan/atau retribusi yang tinggi. Nah, kalau semua daerah kayak gitu, kita mau kemana? Yang harus diutamakan adalah pelayanan publik kepada masyarakat. Bila pelayanan kesehatan memadai, pendidikan berkualitas, sarana publik memuaskan serta semuanya tersebut memihak kaum papa, masayarakat agaknya akan lebih rela dan taat membayar pajak dan retribusi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar