Kehidupan di kota besar macam
Jakarta menyisakan kejenuhan bagi penghuninya. Maka hampir tiap akhir pekan,
warga ibukota berbondong-bondong menyerbu Bandung dan Bogor. Khusus untuk
Bogor, tujuan favorit adalah Puncak, kawasan berhawa dingin dan segar. Saya dan
3 kawan saya sempat “berkunjung” ke Cisarua (deket-deket Puncak), namun dalam cerita yang berbeda.
Pada suatu hari Minggu yang cerah,
saya termasuk dalam gerombolan anak magang yang didaulat mengikuti diklat di Gadog,Ciawi.
Karena perbedaan keinginan, kami berangkat dengan cara-cara yang berlainan.
Saya memilih naik KRL dari stasiun Cikini karena penasaran dan ketiga teman
saya memilih naik bus ke Bogor dari terminal Kampung Rambutan. Setelah melalui
perjalanan yang panjang, akhirnya saya berhasil sampai di Stasiun Bogor pukul
setengahduaan. Naik angkot 2x (ternyata bisa 1x saja), tibalah saya di Ciawi.
Di Ciawi, naik angkot lagi. Karena lupa angkot apa yang harus saya naiki, saya
tanya ke abang sopir angkot.
“Bang, ke Gadog naik angkot apa
ya?”
“Cisarua A’..”
Okelah, koper saya naikkan ke
dalam angkot jurusan Cisarua. Karena masih kosong melompong, saya duduk di
pojok belakang bersama koper coklat saya. Tak dinyana, masuklah ke dalam angkot
trio Macan, eh maksudnya trio kawan saya yang tadi naik bis. Kami bertemu dalam
satu angkot, padahal saya berangkat 2 jam di belakang mereka,hehehe..naik kereta adalah pilihan
cerdas.
Membayangkan sebentar lagi sampai
di tempat tujuan, dengan udara sejuk, pemandangan hijau, ranjang yang empuk,
membuat perjalanan makin menyenangkan. Namun, gelagat nggak enak terjadi sebelum
kita sampai di pertigaan Gadog (tempat jalur buka-tutup), angkot belok kanan
menuju tanjakan. Salah satu teman saya pun bertanya.
“Lho kok lewat sini Pak? Kami mau
ke Gadog.”
Seorang ibu menyahut :
“Udah ditutup jalannya A’..Nanti
sampe Cisarua turun lagi ke bawah lewat Gadog.”
Sebenarnya saya sempat suudzon, jangan-jangan kami mau diculik
buat dijual terus si ibu itu adalah otak di balik semua ini. Tapi nggak mungkinlah ya. Kami nggak akan laku dijual, kecuali Taman Safari
membutuhkan penghuni baru.
Sepertinya Cisarua tidak jauh dan
itung-itung jalan-jalan ke Cisarua deh, nggak apa-apa.
Tapi itu semua salah.
Keindahan jalan-jalan sore itu
mulai memudar ketika tiba-tiba bang sopir meminta penumpang laki-laki turun
semua di depan sebuah tanjakan. Angkot nggak
kuat membawa kami semua naik di tanjakan. Untunglah nggak diminta dorong angkot. Tapi tetep aja keringet bercucuran
mengejar angkot mendaki bukit.
Iseng saya ngobrol sama salah
satu penumpang.
“Sering pak kayak
gini..haaah..haah” ngos-ngosan paru-paru saya.
“Bukan sering lagi mas, tiap
hari..rumah saya di Cisarua, saya kerja di Bogor.”
Ee buseet tiap hari jogging menaiki bukit, tapi kok si bapak ini
masih tambun dan seksi ya..Entahlah.
“Ayoooo-ayooo naik..masih 2
tanjakan lagi!!”
Apaaa?? Benar-benar jalan-jalan
sore yang indah..Apalagi ketika sebuah angkot lain berisi penuh penumpang
melintas menaiki bukit dengan penuh kemenangan di depan kami yang paru-paru
yang udah menyusut.
Alhamdulillah, akhirnya sampailah
kami di depan pusdiklat dalam kondisi yang nyaris pingsan kehabisan napas.
Jalan-jalan sore yang indah.
Pantaslah orang-orang di Jakarta ketagihan ke Puncak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar