![]() |
dari sini |
Akhir minggu lalu saya mudik, melepas kerinduan kepada keluarga di sebuah
desa di Kulon Progo, Yogyakarta. Ketika pagi hari saya terbangun di rumah,
sawah menjadi tujuan kaki saya melangkah. Daun padi yang hijau tergelar luas, air embun tergantung di ujung daun, terasa dingin menyegarkan di
kulit kaki saya. Saya rindu sensasi ini, sensasi pedesaan yang hijau, segar,
dan alami. Jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta yang meracuni penduduknya.
Saya teringat, sawah ini biasanya ditanami padi dan jagung bergantian,
tergantung ketersediaan air. Bapak masih menggunakan kombinasi pupuk alami dari
kotoran hewan yang kami pelihara dengan pupuk buatan semacam urea dan
kawan-kawan. Namun bapak tak pernah menyemprot tanaman padi maupun jagung kami
dengan pestisida, herbisida, dan fungisida yang banyak beredar di toko pupuk
desa. Ketika saya iri melihat hasil panen tetangga yang melimpah ruah dan
mendesak bapak untuk mengikuti jejak mereka yang memanfaatkan teknologi, bapak
bergeming. Kata bapak, tanaman yang kami tanam akan dimakan, entah padi atau
jagungnya untuk manusia atau daun dan batangnya untuk sapi kami, jadi harus
sehat dan bersih. Segala obat-obatan tersebut adalah racun. Dan kita tidak mau
kan dicekoki oleh racun-racun itu?
Atrazine
![]() |
dari sini |
Beberapa hari lalu, saya sempat membaca artikel di situs VOA tentang pro
kontra penggunaan sejenis herbisida bernama Atrazine di Amerika Serikat.
Herbisida adalah obat kimia untuk membasmi gulma pada tanaman pangan. Banyak petani di AS menggunakan herbisida karena
hasil panen menjadi berlipat ganda, dan tentu saja dolar yang diraup semakin
besar. Atrazine adalah herbisida
paling populer di negara Paman Sam tersebut. Buktinya, dalam satu tahn sekitar
80 juta pon atrazine digunakan di ladang-ladang pertanian Amerika. Penggunaan
herbisida, pestisida, dan –ida
lainnya memang merupakan salah satu pilar pertanian modern.
Apabila membandingkan metode bertani keluarga saya yang semi tradisional
dengan metode bertani ala modern, tentu terbayang perbedaan jauh jumlah panenan
setiap tahun. Akan tetapi, apakah prinsip bapak saya untuk tidak “meracuni”
tanaman kami itu sudah usang dan ketinggalan zaman? Apakah pertanian modern
adalah satu-satunya solusi memenuhi kebutuhan pangan yang melaju demikian
cepatnya?
Pertanian modern seperti saat ini pertama kali dipelopori oleh Ford dan Rockfeller Foundation di tahun 1960-an. Usaha yang dinamakan
Revolusi Hijau ini dimulai dengan pengembangan gandum di Meksiko (1950) dan
padi di Filipina (1960). Nama besar negara agraris di masa lalu yang melekat
pada Indonesia tak lepas dari revolusi hijau sehingga swasembada pangan negara
kita tercapai antara 1984-1989. Salah
satu pilar utama untuk
mencapai swasembada pangan itu ialah penerapan pestisida sesuai dengan
tingkat serangan organisme pengganggu.
![]() |
dari sini |
Penggunaan pestisida dan
herbisida tidak hanya memberikan hasil panen yang melimpah, tetapi juga kerusakan lingkungan
yang parah. Seperti halnya dengan penggunaan herbisida atrazine di AS, makhluk
hidup yang menjadi target lama kelamaan menjadi resisten. Walhasil, petani
umumnya akan menambah dosis obat-obatan. Kenaikan dosis secara progressif bukanlah pemecahan
masalah, malah justru membuat masalah baru yaitu resistensi tinggi organisme
pengganggu.
Dampak Penggunaan Atrazine
Jika kita kembali
menilik penggunaan atrazine, sebuah penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa
atrazine mempengaruhi perubahan jenis kelamin katak jantan menjadi katak betina
di AS.
![]() |
dari sini |
![]() |
dari sini |
"Katak jantan yang
terpajan atrazine kehilangan sifat maskulin (terkebiri secara kimiawi) dan
benar-benar menjadi betina saat dewasa," tulis Tyrone Hayes dari
University of California Berkeley dan rekannya di jurnal Proceedings of the
National Academy of Sciences. Hayes dan rekannya mengkaji 40 katak bercakar
dari Afrika, memelihara hewan itu di air tercemar dengan atrazine 2,5 ppb
(bagian per juta). Standard air minum EPA saat ini ialah 3 ppb. Katak
jantan yang terkontaminasi Atrazine, 90% memiliki tingkat
Hormon testosteron yang rendah,
alat kelamin mengecil, jumlah sperma yang menurun, dan peningkatan
ketidaksuburan. Tentu saja
hal ini mempengaruhi populasi katak dan selanjutnya mempengaruhi populasi
predator katak maupun makhluk yang dimangsa katak. Bahkan dengan musnahnya
gulma penganggu akan mengguncang keseimbangan alam. Setiap makhluk
ciptaan Tuhan terlibat dalam suatu sistem yang disebut rantai makanan.
Rantai-rantai makanan terhubung menjadi jaring-jaring makanan. Rantai dan
jaring-jaring makanan bukan hanya sekedar hubungan makan dan dimakan tetapi
juga transfer energi dan keseimbangan alam. Ketika suatu organisme punah
(misalnya karena pestisida,dkk.), alam membentuk rantai makanan yang baru.
Misalkan, petani memakai herbisida untuk membasmi rumput sawah, maka para
pemakan rumput sawah kehilangan makanannya. Ada dua kemungkinan, mereka akan
beralih memakan tanaman lain atau malah ikut punah. Kepunahan ini akan
mempengaruhi keberadaan spesies lainnya yang memakan mereka. Hal ini akan
berdampak pada spesies lain secara berantai dan sistemik.
Penelitian
lain malah mengungkapkan hasil yang mencengangkan. Berdasarkan penelitian Universitas Washington di Seattle, AS, bayi yang
lahir dari ibu yang tinggal dalam
radius 25 km dari lahan yang terkontaminasi atrazine memiliki risiko gastroschisis lebih tinggi. Gastroschisis adalah kelainan pada
dinding perut yang menyebabkan usus dan organ lain berkembang di luar perut.
Jadi wajar apabila penolakan penggunaan
Atrazine di AS begitu keras. Akibat penggunaan herbisida produksi Syngenta
tersebut memang tidak main-main. Indonesia yang masih berusaha mengembalikan
pamornya sebagai negara agraris seharusnya tidak terjebak masalah yang sama.
Hasil produksi pertanian yang tinggi bukanlah alasan untuk mengabaikan
lingkungan. Dengan lingkungan yang terjaga, manusia juga akan menikmati
kehidupan yang lebih baik. Pestisida, herbisida dll. Tidak haram untuk
digunakan. Hanya saja mengingat kondisi alam kita yang mulai memburuk, petani
harus sadar untuk pelan-pelan mengurangi penggunaan zat kimia dan beralih ke
zat ataupun metode alami.
![]() |
dari sini |
![]() |
dari sini |
![]() |
dari sini |
Demi alam yang lebih baik lagi J
referensi :
Amazing article! Hope farmers around the world are aware of the dangers of pesticide use.
BalasHapus