Sudah kesekian kalinya saya naik
kereta, entah menuju kampung halaman atau ibukota, dan sudah kesekian kalinya
saya menulis pengalaman saya naik kereta di blog ini. Akan tetapi, baru-baru
ini ada satu kejadian kecil yang benar-benar menyentil hati dan pikiran saya.
Kali ini saya menumpang kereta
Serayu. Bertolak dari stasiun Jakarta Kota dan berakhir di stasiun Kroya.
Kereta Serayu ini melintasi kota Bandung dan berhenti sejenak di stasiun Kiara
Condong. Di sinilah terpapar cerita kehidupan yang mungkin sering kita
saksikan, namun jarang kita renungkan.
Saya duduk terkantuk-kantuk
ketika kereta ini berhenti di Stasiun Kiara Condong. Tidak ada pedagang yang
melintas menjajakan kopi atau mie pengganjal perut. Tiba-tiba, masuklah seorang
anak, merangkak dengan sapu di tangan. Kira-kira 15 tahun-lah usianya saya
tebak. Seorang tukang sapu kereta, padahal perusahaan kereta negeri ini telah
memiliki petugas cleaning service tersendiri.
sumber |
Mulailah anak itu menyapu kolong
kursi sebelah saya. Penumpang yang masih dilanda kantuk berat tidak
mempedulikannya. Tidak ada uang recehan yang mendarat di tangannya. Dia pun
beralih menyapu kolong kursi saya. Meminta sedikit recehan untuk upah
menyapunya. Saya merogoh kocek, ada uang 500 perak. Saya ulurkan padanya dan
diterimanya dengan ucapan terimakasih.
Tak disangka datang seseorang
yang berseragam. Di bagian depan, tertulis “satpam”. Dialog antara keduanya pun
terjadi, campuran bahasa Indonesia dan Sunda, tapi kira-kira seperti ini :
A : Anak, S : Satpam
S : Ngapain kamu di
sini?
A: Nyapu pak. Cari
duit.
S : Kan udah nggak
boleh lagi. Ngapain masih masuk-masuk?!
A : Cari duit pak.
Saya juga butuh makan.
S : Kamu mau bikin
saya dipecat??
A : Bapak kan bukan
Polsuska, jadi ga bisa dong nglarang saya. Lagian yang dagang pada boleh masuk,
kenapa tukang sapu nggak boleh?
Kalau saya nggak
nyapu, Bapak mau kasih saya makan?!
S : Awas kamu,saya
panggilin Polsuska (sambil mengeluarkan HP)
A : Silahkan pak,
saya ga salah,saya ga maksa. Tanya sama mas ini (menunjuk ke saya)
Hening selama beberapa menit.
Namun akhirnya si Anak beringsut keluar sebelum Polsuska datang.
Kejadian yang biasa dan mungkin
sangat sering terjadi di dunia ini, terutama Indonesia. Tapi keberanian si anak
mempertanyakan sesuatu yang menurut dia adalah ketidakadilan membuat saya
tercenung. Ketidakadilan karena dia dilarang untuk mencari sesuap nasi dengan
menyapu lantai kereta. Lalu bagaimana dia bisa makan?
(Sepertinya) si satpam tidak
peduli, bagaimana dia mau menyambung hidup, yang terpenting adalah jangan
menyapu lantai kereta ada peraturan melarang. Salahkah pak satpam? Bukankah dia
juga menjalankan tugas yang dia emban? Dan apabila tugas tersebut lalai
dikerjakan, ia khawatir dia akan dipecat. Lalu bagaimana dia makan? Bagaimana
keluarganya mau makan?
Hal yang unik di sini karena alasan
yang mereka pegang ternyata sama, urusan perut sehari-hari. Mereka melakukan
pekerjaan yang mereka bisa. Sayangnya pekerjaan mereka bertentangan, bagai
polisi dan pencuri. Tetapi, si anak itu hanya menyapu tidak mencuri. Meminta
sedikit kemurahan hati pun dengan suara yang tidak memaksa. Dia hanya melanggar
aturan bahwa dia tidak boleh menyapu di kereta. Perusahaan kereta sudah
memiliki tenaga cleaning service tersendiri yang sudah digaji. Dia melanggar
peraturan perusahaan sang pemilik kereta.
Namun, ketika aturan itu dibuat
adakah yang ingat padanya? Memikirkan nasibnya? Entahlah. Banyak anak-anak
seperti dia yang sangat sangat ingin kembali bersekolah, meraup berbagai ilmu
demi masa depan yang lebih baik. Uang jadi dinding pendidikan yang teramat
susah untuk diloncati. Makan lebih penting.
sumber |
Bila mencari makan dilarang,
kehilangan
kesempatan bersekolah,
apa yang seharusnya dia lakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar